"orang rindu itu bebas, mau koprol sambil makan biji nangka juga oke aja,"
—deeisma—**
Deburan ombak yang beradu dengan karang menjadi backsound termedu, gadis yang mengenakan dress biru itu kembali membenarkan rambut panjangnya yang ia urai. Tangan kirinya masih setia bertengger diatas perutnya yang mulai membuncit.Kecintaannya pada pantai membuatnya kadang bingung, kenapa ia begitu mengidolakan sunset di pantai. Ia lantas melangkah pelan ke arah perempuan paruh baya yang dengan setia menunggunya di bawah pohon kelapa yang daunnya melambai.
Seperti tersihir, bibir mungilnya menyungingkan senyuman kala perempuan paruh baya itu berjalan tergopoh dengan ponsel menyala di tangannya.
"mbak Zeze, mas Bani telfon dari tadi. Mbak Zeze lama banget, Ningsih khawatir,"
Zevana hanya mengangguk dengan cengiran kudanya, ia lantas mengambil telfon yang di tujukan untuknya.
"dari mana?"
Belum juga gadis itu menyapa, laki-laki di seberang sana sudah mengintrupsi dengan nada dingin.
"kayak biasanya," cicit gadis itu. Ia tau, laki-lakinya pasti akan mengomel habis ini.
"kamu jauh dari aku kok makin seneng berkeliaran sendiri sih, pakek nggak ngebolehin mbak Ningsih ikut. Nanti kalo ada apa-apa gimana?"
"kamu ngedoain aku kenapa-kenapa ya?" Zevana menjilat bibir bagian bawahnya, ia menahan senyum hanya karena sifat posesif laki-lakinya yang akhir-akhir ini makin membuatnya tidak habis pikir. Seingatnya, Arbani tidak sealay ini biasanya.
"ya allah sayang, aku tuh nggak mau kamu kenapa-kenapa,"
Zevana makin melebarkan senyumannya, entah kenapa part Arbani ketika memanggilnya sayang membuat ribuan kupu-kupu sontak hinggap di perutnya, mengajaknya terbang tanpa takut di jatuhkan.
Zevana bersiap membuka mulutnya, menyahut lawan bicaranya ketika angin kembali berhembus menerbangkan rambutnya ke arah hidung hingga membuatnya bersin.
"yang, kamu kenapa? Kok bersin-bersin gitu? Kamu sakit?"
"enggak, aku cuma—"
"aku pulang malem ini, okeh. Aku beresin kerjaan dulu, sekarang kasiin handphone nya ke mbak Ningsih biar aku yang ngomong,"
**
"mbak, tadi Arbani bilang jam berapa landingnya?""bener kok jam setengah 2, mbak Zeze capek ya? Apa pegel? Mas Bani udah bilang, mbak Zeze harusnya ndak usah jemput,"
"nggak pa-pa lah mbak, ini kan udah jam 2 kok belum dateng juga ya? Masak pesawat macet,"
Dua menit setelahnya, Arbani melangkah dengan tas punggungnya. Penerbangan dari Jakarta menuju ke Bali kali ini sedikit berbeda dari biasanya, ia bahkan lupa kalau saja tidak ingat mbak Ningsih menjemputnya di bandara. Karna di pesawat tadi, secara tidak sengaja ia bertemu dengan Meyla teman SMA-nya yang gemuk dulu yang sekarang bermetamorfosis menjadi gadis cantik dengan seragam pramugari.
Arbani tetap asyik berbincang dengan Meyla, sesekali kedua teman lama itu membahas masa lalu yang membuat keduanya menggelengkan kepala secara bersamaan dan tertawa kemudian.
"gue masih nggak nyangka kalo lu udah nikah, dadakan banget sih, Ban?"
"ya gimana, udah ngebet banget soalnya,"
Keduanya kembali tertawa bersama, langkah kaki mereka telah sampai di pintu keluar yang langsung terhubung dengan jalan raya, di seberangnya telah berjajar rapi mobil jemputan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Sky
RomanceDidedikasikan untukmu yang abai, untukmu yang tidak ingin membahas perasaanmu sendiri. Tentang langit yang menjadi background seluruh ceritamu. Dan juga tentang bentuk darimu. Dan segala hal tentangmu.