Chapter 1 Sebuah Pengakuan

50.3K 1.9K 55
                                    

Happy reading y'all 🌹

Setiap sekolah pasti ada bermacam-macam tipe murid. Dari tipe murid yang pintar, disiplin, teladan, sampai murid yang terkenal dengan kenakalannya. Ya, semua itu ada di sekolah Elora.

Elora itu murid yang tidak begitu pintar, ceroboh, dan blak-blakan. Tapi, nilai ujiannya selalu pas KKM atau lebih tinggi sedikit dari KKM. Beruntung? Hm, mungkin. Tapi, dia juga beruntung karena memiliki pacar yang perhatian. Ali Elvano. Cowok the most wanted yang selalu menjadi bahan perbincangan cewek-cewek satu sekolah karena ketampanan dan kepintarannya. Kalau soal iri, sih, itu tidak usah dibilang lagi. Semuanya iri dengan Elora. Sejujurnya, selain merasa iri, mereka semua juga penasaran mengapa mereka berdua bisa berpacaran, padahal keduanya bisa dibilang berbeda jauh dan bertolak belakang.

Ali termasuk golongan murid yang pintar dan aktif dalam mengikuti lomba-lomba dan Olimpiade-olimpiade. Sedangkan Elora termasuk golongan murid yang biasa-biasa saja, bahkan keberadaannya hampir tidak diketahui oleh orang-orang. Keseharian yang Elora jalani simpel saja. Bangun tidur, pergi ke sekolah dan belajar, saat jam istirahat Ali sudah berdiri di depan kelasnya, siap untuk mengajaknya ke kantin.

Pagi ini tidak seperti biasanya, Pak Romi tidak masuk ke dalam kelas untuk mengajar Matematika. Dari tadi pagi, beberapa guru di kantor tengah membicarakan seseorang yang sudah tidak asing lagi namanya di telinga semua orang. Darrel Wijaya. Lagi-lagi Darrel kepergok sedang mengadang adik kelas di halaman belakang sekolah. Oh ya, satu lagi. Elora itu orangnya suka penasaran. Rasa penasaran itu selalu menempel di dirinya bak lem.

"Rin, ayo ke kantor," ajak Elora tidak sabaran. Dirinya terus berusaha menggamit lengan Ririn karena dari tadi perempuan itu terus menghindari gamitannya.

Ririn lantas menggelengkan kepalanya berulang kali. "Nggak, ah. Lagian ngapain, sih, ke kantor?" tanyanya bingung.

"Itu loh, gue dengar dari anak-anak lain, katanya si Darrel dihukum lagi. Gue penasaran masalah apa lagi yang dia buat hari ini," jawab Elora.

Ririn menatap Elora dengan tatapan malas. "Mulai, deh, kumat lagi rasa penasaran lo itu. Lo nanya Karel aja tuh, kali aja dia tahu. Atau lo nanya Adit, biasanya, kan, dia suka ngegosip di kelas."

Elora berdecak, tangannya terjulur untuk menarik lengan Ririn supaya perempuan itu bangkit berdiri dari kursinya sekarang juga. "Karel mana mungkin, sih, tahu yang begituan? Terus Adit, tuh anak malah izin pulang kampung! Gue jadi nggak tahu gosip-gosip apa yang ada di sekolah."

"Yaudah, lo pergi sendiri aja, nggak papa, kan? Gue masih harus salin PR, nih. Lo tahu sendiri, kan? Habis break udah pelajarannya."

Elora langsung melengos mendengar jawaban dari Ririn. Ia mencebikkan bibirnya, menatap Ririn penuh harap. Berharap perempuan itu berubah pikiran dan menemaninya ke kantor guru. Tapi, sahabatnya itu malah tidak mengindahkan tatapan penuh harap darinya.

"Yaudah, deh." Pada akhirnya, Elora pasrah.

Ririn melirik Elora seraya geleng-geleng kepala. "Tapi, lo harus hati-hati, Ra. Jangan sampai lo ketahuan lagi ngintipin dia. Lo tahu sendiri, kan, dia itu gimana orangnya?" Ririn memperingatkan dengan nada hati-hati.

Elora mengangguk dua kali. "Iya-iya. Yaudah deh, gue pergi dulu. Kalau dalam sepuluh menit gue nggak balik, itu artinya gue lagi dalam bahaya. Lo harus keluar cari gue, ya. Awas kalau nggak!"

Ririn mendengus seraya mengangguk singkat. "Iya, udah sana. Cepat pergi, cepat balik."

Detik itu juga, Elora langsung berlari keluar kelas. Dalam kurun waktu kurang dari lima menit, Elora sudah sampai di kantor guru. Sekarang, ia sedang mengintip Darrel dari balik jendela kantor yang sedang terbuka lebar. Wajah lelaki itu tampak biasa-biasa saja. Bahkan, tadi Elora masih sempat melihat Darrel mengulas senyum sinis.

Good or Bad?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang