Chapter 9 Hanya Ada Satu Cara

15.4K 1K 11
                                    

"Darrel!" seru Mia dari arah belakang.

Darrel yang hendak menuju ke kelasnya itu segera menghentikan langkah kakinya sesaat setelah mendengar namanya dipanggil. Menoleh ke belakang, ia menarik napas pelan saat melihat si pemanggil.

"Apa?" tanya Darrel singkat. Ia menatap Mia sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Mia sedikit mencebikkan bibirnya, walaupun Darrel selalu bersikap ketus dan dingin terhadapnya, tapi tetap saja perasaan sukanya pada Darrel itu tidak bisa hilang.

"Papa lo... gimana kabarnya?" tanya Mia hati-hati. Ia tampak ragu untuk menanyakan hal ini pada Darrel.

Kontan saja, Darrel melirik Mia dengan malas. "Tanya aja sama orangnya sendiri."

Mia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan napasnya dengan pelan lewat mulut. Ia masih berusaha untuk mengajak Darrel mengobrol. "Papa gue ajak lo sekeluarga buat—"

"Nggak sempat," sela Darrel cepat.

Ya, papanya Darrel dan papanya Mia memang saling kenal karena papanya Mia bisa dibilang adalah orang yang cukup terkenal dan berpengaruh di kota ini, atau bahkan di beberapa kota yang ada di Indonesia. Papanya Mia merupakan rekan bisnis papanya Darrel.

"Tapi—"

"Udah mau bel, gue mau ke kelas." Tanpa menunggu ucapan lebih lanjut dari Mia, Darrel langsung menyela ucapannya dan melangkah pergi dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya, meninggalkan Mia yang bersungut-sungut di koridor.

***

Elora tengah duduk termenung di kursi yang terletak di depan meja belajarnya. Sinar yang berasal dari lampu belajarnya itu menyorot ke arah meja yang dipenuhi oleh buku-buku. Seharusnya, saat ini dirinya mengerjakan PR bahasa Inggris yang diberikan oleh Pak Yusuf tadi, tapi sekarang niatnya sudah hilang.

Elora berpikir sejenak, apa maksud Darrel mendekatinya? Maksudnya itu baik atau jahat? Memang Darrel selalu bersikap baik terhadapnya, tapi siapa yang tahu kalau di belakang? Bisa saja ada akal bulus yang terselubung di dalam pikiran Darrel.

Sejujurnya, terkadang Elora suka takut sendiri kalau Darrel sedang berada di dekatnya. Hanya saja, dia berusaha bersikap biasa saja. Lagian, siapa yang tidak takut coba? Mukanya garang, rambut acak-acakkan. Sudah seperti preman yang sedang menagih utang saja. Berbagai pikiran aneh langsung muncul di otaknya, membuat Elora menjadi tidak fokus dengan apa yang akan ia kerjakan.

Sejak Darrel mengaku bahwa Elora itu pacarnya, hidup Elora seperti berputar 180 derajat. Bukannya semakin baik, tapi semakin buruk. Tapi entah kenapa, terkadang Elora juga tidak begitu tega cuekkin Darrel. Pasalnya, toh lelaki itu juga tidak pernah menyakitinya. Yang membuat Elora sebal itu hanya sifat Darrel yang keras kepala, tukang maksa, dan sok manis di depannya. Sebenarnya, kalau boleh jujur, Darrel itu tidak terlalu buruk, sih, menurut Elora. Karena dia itu hanya suka membuat onar, bolos, kadang-kadang berantem, dan menjahili orang saja. Elora juga tidak pernah melihat lelaki itu merokok ataupun meminum minuman keras.

Elora kini mengetuk-ngetuk dagunya dengan pensil yang saat ini berada di tangan kanannya. Tangan kirinya ia gunakan untuk menopang dagunya. Matanya melirik jam yang terpampang di atas TV kamarnya. Sudah jam delapan malam, kira-kira apa yang sedang dilakukan adiknya sekarang? Sudah tidur atau belum? Tapi rasanya tidak mungkin, secara Alrez itu kan tidak pernah sedikit pun melewati film kesukaannya kecuali kalau ada tugas tambahan. Ya, Elora memiliki adik. Mereka hanya dua bersaudara. Jarak umur mereka juga tidak terlalu jauh. Hanya terpaut usia dua tahun.

Seketika Elora tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara ketukan pintu. Kepala Alrez mulai muncul sedikit di ambang pintu.

"Woi, belum tidur lo?" tanyanya spontan.

Elora menatap adiknya itu dengan tatapan jengkel. "Wai, woi, wai, woi. I'm your sister, dude. Seperti yang lo lihat, belum."

Alrez hanya terkekeh. "Galak amat, sih, hati-hati nggak ada yang mau entar." Sontak tawa Alrez meledak begitu melihat wajah Elora yang sudah memerah karena menahan emosi.

"Galak darimananya coba? Adik siapa, sih, lo? Hobinya isengin orang mulu, nyulut emosi orang mulu." Elora mulai mengatakan satu-persatu sifat menyebalkan Alrez.

"Monyong tuh mulut." Lagi-lagi Alrez menyulut emosi Elora dan dengan cepat Elora melempar sandalnya pada lelaki itu.

Namun, lemparan sandalnya tidak terkena Alrez karena lelaki itu sudah lebih dulu menjauh. Sesaat kemudian, ia duduk di tepi ranjang Elora. "Udah-udah, mending gue berhenti sebelum kena lemparan sandal busuk lo itu lagi. Omong-omong, lagi ngapain lo?"

Elora memutar kursi dorongnya menjadi menghadap ke belakang. "Kerjain PR bahasa Inggris, susah nih," tuturnya.

Alrez hanya manggut-manggut mengerti.

Sesaat kemudian, Elora mulai angkat bicara lagi. "Omong-omong, bisa nggak sekali-kali lo panggil gue Kak gitu, nggak sopan amat sih."

"Entah tuh, si Amat nggak sopan banget." Alrez mengedikkan bahunya.

"Aduh, susah, ya, ngomong sama orang susah." Elora menepuk jidatnya pasrah.

"Biarin."

Elora memelotot mendengar jawaban Alrez. Yang dipelototi hanya nyengir tak berdosa.

Setelah itu, Alrez sedikit berdiri dan menjitak pelan kepala Elora. "Lo nggak bisa kerjain pr bahasa Inggris pasti karena nggak perhatiin kan pas guru nerangin?" Alrez berniat mengalihkan pembicaraan.

Langsung saja Elora memukul tangan Alrez yang menjitaknya. "Enak aja, anak serajin gue mana mungkin, sih, nggak perhatiin pas guru lagi nerangin."

"Atau jangan-jangan lo lagi mikirin cowok, ya? Hayooo, ngaku." Alrez menunjuk Elora sambil menyipitkan kedua matanya, melemparkan tatapan curiga pada perempuan itu.

Elora menautkan kedua alisnya sambil geleng-geleng kepala. "Oh ya, gue mau nanya boleh?" tanyanya tiba-tiba.

"Bukannya sekarang lo emang lagi nanya, ya?" balasnya sarkastis.

Elora cengengesan lalu mendorong kursinya menjadi lebih dekat ke Alrez. "Kalau misalnya ada cowok yang nggak begitu gue kenal dekat, terus dia dekat-dekat sama gue terus gimana?"

Alrez mengangkat satu alisnya lalu menjentikkan jarinya ke depan wajah Elora. "Itu mah namanya godaan iblis, harus diusir tuh."

Mendengar jawaban tidak masuk akal dari Alrez, Elora sontak tertawa. "Atau gue pasang bom aja kali, ya, biar dia nggak dekat-dekat sama gue lagi?"

"Atau lo harus dilemparin pakai telur busuk?"

Keduanya mulai saling mengajukan ide-ide konyol. Beginilah mereka setiap hari, kalau sudah ketemu dan ngobrol, pasti tidak ada yang benar. Segala ide, cara aneh dan konyol mulai terlintas di pikiran mereka.

"Udah, ah." Elora mengakhiri ide-ide konyol itu dengan wajah sok cemberut. Kursi yang didudukinya dia dorong sampai akhirnya berhenti di samping Alrez.

"Kalau menurut gue nih, ya," Alrez menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang sebelum melanjutkan perkataannya. "Mending lo pikirin satu cara yang bisa buat dia cemburu. Jadi, dia bisa berhenti dekatin lo lagi," ucap Alrez mantap.

Melihat perubahan akan wajah Elora, Alrez mulai mengatakan sesuatu lagi. "You know what I mean."

Lalu keduanya langsung tertawa bersama.

"Makasih, ya, Rez."

29 September 2016

Good or Bad?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang