Avelyn menatap ponsel ditangannya yang terus berdering sejak dua jam yang lalu dan ia tidak ingin mengangkatnya. Ia hanya berharap dering itu akan berhenti mengganggunya. Avelyn merebahkan kepalanya diayunan yang berada ditaman belakang, kakinya diluruskan dan ia membiarkan semilir angin menggerakkan ayunan itu, membiarkan rambutnya terbang mengikuti arah angin.
Ini kan yang kau inginkan, Lyn? Kau selalu ingin lari dari keluarga kita dan sekarang setelah mama tidak ada, kau ingin lari dari apa? Avelyn menatap langit malam yang berawan dan tatapannya berubah kosong.
Renata benar, sekarang apa yang ingin dilakukannya? Avelyn menutup matanya, tubuhnya berayun kedepan dan kebelakang hingga mendadak ayunan itu berhenti dan ia menabrak seseorang dibelakangnya. Ia memutar tubuhnya dan menatap Thalia sedang berdiri dibelakangnya dengan memakai sweater kebesaran dengan celana panjang. "Apa yang kau lakukan Lyn?"
"Tidak ada"
"Dasar pembohong. Kau pasti sedang melamun" Ucap Thalia dan duduk diayunan satu lagi yang berada disebelah Avelyn.
Avelyn tidak menjawab ucapan itu dan masih sibuk dengan ayunannya. Seperti biasa, yang akan dilakukan Thalia hanyalah duduk disebelah gadis itu tanpa memaksa Avelyn menceritakan apapun. Pertemanan mereka telah berlangsung satu tahun dan Thalia telah cukup memahami gadis itu untuk tidak memaksa pembicaraan dalam tema apapun.
Ia menatap Avelyn yang masih menutup mata, "Kau selalu bisa menuangkan apa yang kau rasakan padaku, Lyn" dan melanjutkan, "Itupun kalau kau mau"
"Aku akan mengingat kata-katamu" jawab Avelyn singkat dan Thalia tahu itu tidak akan pernah terjadi. Tapi setidaknya ia telah berusaha memulai percakapan.
Thalia menghela nafas, ia tidak tahu siapa Avelyn dan masalah apa yang tengah dihadapi gadis itu. Tapi ada beberapa hal yang diketahuinya. Pertama, Bryan bukanlah kekasih Avelyn. Kedua, Avelyn sangat suka berhubungan dengan pria-tepatnya banyak pria. Ketiga, Avelyn tidak pernah benar-benar tersenyum.
Tiga hal itu yang mampu membuat Thalia terus bersabar disamping Avelyn dan tidak pernah meninggalkannya. Kejadian ini sama dengan situasi yang dulu dihadapi Warren, pria itu berubah menjadi pria yang tidak bisa disentuh siapapun, padahal dulu mereka berdua sangat dekat.
"Lyn, Apa kau pernah menganggapku sebagai temanmu?"
Hal itu membuat Avelyn menghentikan ayunannya dan menatap kearah Thalia yang matanya kini terpaku kepadanya. "Aku tidak mengerti maksudmu"
"Aku bertanya hal yang simple, Lyn. Apa kau pernah menganggapku sebagai temanmu?"
"Dan apakah jawabanku penting bagimu? Apapun jawabanku, kita selalu jalan bersama, makan dan hangout bersama. Apa bedanya?"
Avelyn tidak mengerti kenapa hal ini sangat penting bagi gadis itu. Bukankah pertemanan itu hanyalah sebuah status? Status yang tidak penting. Jadi kenapa mereka harus membahasnya sekarang setelah melewati satu tahun?
Thalia turun dari ayunannya dan menatap Avelyn dengan tajam, "Kalau kita hanya pergi bersama, itu bukan teman, Lyn. Aku menganggapmu sebagai teman dan kau bahkan tidak pernah menganggapku seperti itu. Apa kau tidak pernah berpikir sedikitpun untuk membagi perasaanmu dengan temanmu?"
Tidak. Aku tidak pernah berpikir untuk membagi perasaanku dengan teman. Karena teman itu tidak ada, karena itu hanyalah status semu yang berakhir dengan saling menyakiti.
"Kau seharusnya mengatakan perasaanmu, Lyn. Kau seharusnya-"
"Sebenarnya apa yang sedang kita bahas disini?" Avelyn bertanya dan memotong ucapan Thalia dengan cepat. "Aku tidak mengerti apa pokok pembicaraan kita disini, Thalia"
KAMU SEDANG MEMBACA
Soprano Love [COMPLETED] SUDAH TERBIT.
Romance[COMPLETED random private . Follow first to read all part of story] Bisa kalian dapatkan di toko buku terdekat :) The past and the future. Both of these things is scary, but it also provides hope that too big until she finally had to choose to lov...