12. WE DON'T TALK ANYMORE

11K 1.3K 165
                                    

"Jadi gosip itu beneran?"

Dewi tiba-tiba bertanya saat kami berdua berada di masjid rumah sakit seusai menunaikan salat dhuhur.

"Gosip apa?" tanyaku balik sembari bergegas melipat mukena yang barusan kupakai.

Jam di dinding masjid menunjukkan hampir jam 2 siang, dan aku belum makan apa pun karena sedari pagi ruang UGD AlMedika terlampau sibuk gara-gara ada bus sekolah yang kecelakaan. Semua korbannya dilarikan ke sini. Dan sekarang aku kelaparan.

"Gosip yang bilang kalo elo putus ama Dokter Gilang. Well, awalnya sih gue nggak percaya. Tapi setelah liat interaksi kalian tadi di UGD, gue jadi ikut curiga." Dewi terlihat kepo. Matanya melebar lucu saat dia kepo begini.

"Emang keliatan banget ya?" Aku terkekeh kecil meski sebenarnya nggak ada yang lucu. Lebih ke arah perih sebenarnya, tapi sebisa mungkin kusembunyikan di depan Dewi. Aku tau diri lah, dia lagi menikmati masa-masa jadi pengantin baru, nggak mungkin dong aku gangguin dia dengan curhatan patah hatiku ini?

"Jadi, beneran?"

Aku mendesah lelah, dan akhirnya hanya mengangguk. Memilih jujur lebih baik daripada menggeleng. Toh, Dewi sudah melihat faktanya.

"Kok bisa? Kapan? Padahal kan pas di nikahan gue waktu itu, kalian masih keliatan baik-baik aja."

"Udah ah, nggak usah dibahas. Yang penting lo sekarang tau kalo gue ma dia udah nggak ada hubungan lagi. Titik," tutupku dengan nada final, sebelum beranjak meninggalkan masjid dan menuju kantin.

Cukup aku sendiri yang tau rasa sakit yang aku alami, tidak perlu melibatkan orang lain di dalamnya.

"Lo udah biasa sendiri, Ka," gumamku pelan saat Dewi beranjak mendahuluiku.

***

"Serius, gue nggak nafsu makan. Gue pengen istirahat aja. Capek banget astaga," keluh Dewi setibanya kami berdua di kantin.

"Kalo gue butuh makan. Laper. Dari tadi pagi, eh ... dari semalem sih, gue nggak makan saking asiknya marathon drama. Gilak ya itu drama isinya brondong unyu semua! Duh, rapuh hati noona liat mereka. Mana ceritanya manis banget pula! Makin stres gu...aduh! Apaan sih Dew cubit-cubit? Sakit tauk!"

"Tuh, lihat! Arah jam dua belas," bisik Dewi yang langsung kuturuti.

Deg!

Kenapa jantungku berdetak sedikit gila dan ... tak nyaman?

Oh, there he is, Dokter Gilang Aryaprananta, duduk berdua dengan Fany, menikmati makan siang sambil bercanda.

Dan dia tersenyum!

Lalu kenapa lidahku terasa tiba-tiba kelu?

Aku tahu, itu adalah senyum pertama yang aku lihat sejak kami putus beberapa hari lalu. Tapi sayangnya, senyum itu bukan lagi untukku.

Menyembunyikan gemetar di tanganku—yang tentu saja tak berkaitan dengan rasa lapar—aku menghela napas untuk melegakan hati. Dia bahagia sekarang ... dan sama orang yang pantas, bisik hatiku.

"Kak, are you okay?" Ada rasa iba di pertanyaan Dewi itu saat menyadari kegeminganku.

No. Not okay. At all. Tapi aku bisa apa? Ini adalah konsekuensi dari keputusan yang sudah kubuat sendiri.

Aku menarik napas panjang sekali lagi, dan sekuat tenaga mencoba menahan airmata yang siap meluncur. Mendadak nafsu makanku hilang. Aku tidak lagi merasa lapar. Melihat mereka berdua terlihat akrab dan mesra seperti itu membuatku kenyang.

ENCHANTED [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang