10. BEING HIS GIRLFRIEND

12.8K 1.3K 147
                                    

"Karena ini terasa manis seperti cherry, dan aku nggak bisa melupakan bagaimana rasanya sejak pertama kali menciumnya."

Pipiku merona kembali –mengingat kalimat yang dia lontarkan semalam– saat aku berdiri di depan cermin dan memulas bibir dengan lipbalm rasa cherry seperti yang biasa kugunakan. Dasar brondong mesum! Dan sialnya, aku juga pasrah aja diapa-apain sama dia. Duh!

Apa normal, wanita seusiaku selalu mati kutu hanya karena rayuan gombal brondong kayak dia? Poor Ika!

Dering ponsel di atas meja membawaku kembali ke alam nyata. Segera kuraih dan kulihat pesan yang tertera di layar.

Panjang umur nih brondong! Baru juga dipikirin, udah nongol aja.

Dr. Gilang : Cherry, aku masih di tempatnya barbie. Tunggu bentar ya. Abis ini aku kesana.

Dan lagi, aku blushing untuk kesekian kali. Beuh ... cuma baca pesen dia aja bisa bikin kayak gini? Luar biasa ternyata efeknya si brondong. Apa ada jamu anti pesona brondong? Kalo ada, boleh deh pesen. Biar jantungku biasa aja dan pipiku anti-blushing berlebihan kayak gini.

Kuketikkan balasan singkat untuknya, sebelum akhirnya turun dan menunggu kedatangannya di depan kost seperti biasa.

***

Mataku mengerling ke arloji di tangan. Sudah sepuluh menit aku menunggu, dan Gilang belum menampakkan batang hidungnya. Kembali mataku menyusuri sekitar, dan saat itulah aku melihat si bocah nakal yang sepertinya sedang sibuk sendiri. Apalagi kalau bukan cari gara-gara? Tak ingin dia kabur, aku berjalan pelan menghampirinya.

"Hayoo, lagi ngapain?"

Bocah nakal itu terlonjak begitu mendengar suaraku. Sambil cengengesan dia menyapa, "Eh ada Kak Ika."

"Nggak usah sok manis deh! Abis kamu apain nih motor?" selidikku.

"Nggak diapa-apain, diliatin aja kok. Suer," ujarnya. Duh ... ni anak bakat ngeles dari mana coba?

"Masih kurang puas kamu kemaren udah bikin motor Kakak kempes?" Kembali kuberondong dia dengan pertanyaan setelah melihat ban motor Wicak yang entah sejak kapan sudah tertancap paku di sana.

Raqina kembali terkejut mendengar pertanyaan terakhir. Mungkin dia heran aku bisa menebak pelakunya dengan tepat.

"Hehehe ... Jadi, kakak udah tau ya?" sambil masih cengengesan dia merespons pertanyaanku. Gimana nggak tau, abis nancepin paku, dia ninggalin boneka mainannya di samping motor. Benar-benar ceroboh.

"Nggak lucu, Raqina! Sekarang jelasin ke Kakak kenapa kamu berbuat kayak gitu! Dan kenapa kamu udah di sini bukannya di sekolah?" Mataku menyipit curiga.

Raqina mencebik lucu, membuat siapapun yang melihatnya pasti nggak tega buat marah terlalu lama. Tapi aku nggak boleh lemah. Sama bocah kayak gini sih emang harus tegas.

Lalu setelah beberapa saat diam, dia akhirnya berkata lirih, "Maafin Qina, Kak! Qina cuma mau bantuin temen Qina."

"Bantuin gimana?"

"Jadi 'kan bapak-bapak yang nambal ban di depan gang itu, bapaknya temen Qina. Trus kan hari ini sekolah Qina terima rapot, tapi temen Qina nggak bisa ambil rapot soalnya belom bayar buku. Makanya Qina kempesin deh motor-motor ini biar pada ke tempat bapaknya temen Qina. Biar bapaknya temen Qina punya uang buat ambil rapot." 

Aku hanya bisa diam mendengar penjelasan panjang lebarnya. Speechless. Nggak nyangka bocah nakal ini ternyata punya alasan semulia itu dibalik kelakuannya. Sementara Raqina masih sibuk memuntal ujung bajunya, tanda ia merasa bersalah padaku.

ENCHANTED [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang