11. MAYBE WE AREN'T MEANT TO BE

12.1K 1.3K 134
                                    


Tok ... tok ... tok.

Terdengar suara ketukan dari pintu kamar kos, tepat saat aku baru keluar dari kamar mandi. Saat kubuka, Aruni sudah berdiri dengan hairdryer dan peralatan make up lengkap di tangannya.

"Pas banget lo nongolnya. Gue baru kelar mandi," ujarku singkat.

"Gilang kemana?" tanyanya sembari masuk kamar dan langsung menuju ranjang.

"Kenapa tiba-tiba nanyain Gilang?" kuikuti langkahnya dan ikut duduk di atas ranjang, menghadapnya.

"Ya elo aneh, sih! Jelas-jelas udah punya Gilang, kenapa mau kondangan aja masih ngajakin adek gue? Makanya kan gue tanya, pacar lo kemana. Sibuk?"

Kondangan yang dimaksud Aruni adalah acara nikahannya Dewi. Awalnya aku memang berencana akan pergi dengan Gilang. Tapi, berhubung beberapa hari lalu kami bertengkar, jadi ya males lah kalau aku harus ngajakin dia. Kecuali kalau dia yang berinisiatif mengajakku duluan, mungkin aku masih mau mempertimbangkannya. Tapi ya emang sih jangan terlalu banyak berharap sama orang macem dia. Jangankan ngajakin pergi bareng, minta maaf aja kagak! Bayangin deh, dia udah marah-marah nggak jelas gitu, tapi sampai detik ini dia nggak ngerasa salah. Hadeh. Emang musti banyak sabar kalo ngadepin brondong.

"Ka! Yeee ... gue tanya malah bengong!" tegur Aruni. Tangannya masih sibuk merias wajahku.

Aruni emang gitu, tiap kali aku mau pergi ke suatu acara, dia pasti menawarkan diri untuk mendandaniku. Dan berhubung aku kurang jago dalam hal kayak gini, makanya aku iyain aja tawarannya. Dan dia dengan senang hati akan merias dan memperlakukanku seolah-olah aku ini mainannya. Tapi aku nggak pernah protes juga. Hasil akhirnya selalu memuaskan soalnya.

"Gilang ya? Tauk deh dia kemana. Gue lagi berantem sama dia."

"Hah? Ya elah, baru juga jadian udah berantem aja kalian berdua. Ckckck."

"Sapa suruh dia nyebelin!"

"Nyebelin gimana?"

Akhirnya kuceritakan kejadian beberapa hari yang lalu pada Aruni. Lengkap, termasuk juga setiap kata yang terucap dari mulutku dan Gilang pun aku bilang padanya.

"Kebayang nggak sih lo gimana sebelnya gue pas dia bentak-bentak gue di depan Dokter Agil yang ... yah, lo tau sendiri kan gue dulu ngefans ke tuh dokter kayak gimana. Dan nih brondong udah bikin malu gue di depan Dokter Agil, Ni! Gimana gue nggak marah coba?" repetku berapi-api.

"Maklumin aja sih. Kadang cowok itu suka aneh kalo lagi jealous."

"Ya tapi kan nggak musti bertingkah kekanakan kayak gitu juga. Hhhh ... ya udahlah! Bahas yang lain aja. Males gue ngomongin dia."

Aruni terkikik pelan mendengar keluhanku. Tangannya yang terampil kini beralih ke rambut, setelah usai memberi make up di wajahku. "By the way, gue tadi ke basecamp ama Raqina. Dan adek-adek nanyain lo. Khawatir lo kenapa-napa soalnya udah cukup lama lo nggak kesana."

"Iya ya, gue lama nggak mampir ke basecamp. Eh, trus kok tumben lo ngajak Qina kesana?"

"Kebetulan dia lagi di rumah gue. Bik Minah yang nitipin Qina. Lebih aman, katanya. Ya lo tau sendiri, sejak om lo jadi buronan KPK, suasana jadi nggak kondusif buat Qina. Petugas KPK, polisi, wartawan, belom lagi orang-orang kepo yang kurang kerjaan, kayak nggak ada habisnya nyatronin rumah dia."

Aku hanya mendesah lelah mendengar celotehan Aruni. Memang sejak Papanya Qina diputuskan menjadi salah satu tersangka kasus korupsi dana proyek pembangunan wisma atlet beberapa hari lalu, suasana di rumah Qina jadi di luar kendali. Terlalu banyak orang yang datang ke sana, dan mereka tidak bisa dibilang ramah juga. Qina bahkan selalu takut jika mereka datang. Makanya sebisa mungkin aku berusaha nemenin dia, atau ngajak dia pergi dari rumah itu. "Trus Qinanya gimana sekarang?"

ENCHANTED [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang