"Kak!" Aku tergeragap kaget saat Raqina tiba-tiba memanggil namaku cukup keras. "Kenapa nangis?" Dia memasuki kamar kos dan duduk di sisiku. "Oh ... lagi nonton, emang lagi nonton apa sih?" Kepo, dia menengok ke layar laptop di pangkuanku.
Spontan aku memegang pipiku. Basah. Ternyata sedari tadi aku menangis tanpa sadar. Dan itu nggak ada hubungannya sama drama action yang sedang kutonton. Ya ... gimana bisa nangis kalau yang aku lihat dari tadi cuma adegan pukul-pukulan doang? Yang ada harusnya aku malah tegang atau deg-degan, bukannya nangis. Hhhh.
"Om gantengnya menang gitu. Tuh musuh-musuhnya yang kalah. Kok malah ditangisin sih, Kak?" Raqina bersuara lagi. Masalahnya, dari tadi biarpun mataku menatap adegan pukul-pukulan, tapi otakku nggak ikut ke situ.
"Hahahaha ... ya kan itu tadi Om gantengnya berantem tuh, kan Kakak nggak tega kalo ngelihat orang berantem. Ntar kalo Om gantengnya terluka gimana? Kan kasian. Makanya Kakak tangisin."
Konyol memang alasan yang kuucapkan. Tapi itu lebih baik ketimbang aku bilang jujur apa yang sudah membuatku menangis. Raqina masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang disebut dengan patah hati.
"Udah, nggak usah dipikirin kenapa Kakak nangis." Kuusap kepalanya pelan. "Kamu lagi ngerjain apa? Perlu bantuan Kakak nggak?"
"Nggak perlu, Kak. Ini bentar lagi juga selesai kok PR-nya."
Kuamati buku di hadapan Raqina. "Eh? Bukumu kenapa bisa lecek gini?" Jemariku bergerak meraih buku itu. Sesekali membaliknya dan menemukan beberapa halaman yang tadinya sobek namun sepertinya sudah diperbaiki sendiri oleh Raqina.
"Eum ... itu gara-gara temen Qina," ujarnya pelan. Jelas terlihat adikku ini ingin menyembunyikan sesuatu.
"Kok bisa?" tanyaku heran. Kutunggui dia sampai buka mulut, nggak mengalihkan pandang sekali pun. Raqina mendesah pelan, kemudian dari bibir mungilnya meluncur kisah pilu tentang perlakuan yang diterimanya di sekolah. Raqina, adik kecilku yang usil dan banyak akal, tanpa aku ketahui ternyata jadi korban bully teman-temannya di sekolah.
"Jadi, kamu sering dikerjain temen-temen kamu? Dikatain anak penjahat juga?"
Dia mengangguk. Matanya kembali sibuk menelusuri bukunya yang lecek itu, seakan apa yang baru dia ceritakan bukanlah hal yang penting. Firasatku mengatakan bahwa kejadian ini cukup sering, sampai Raqina menganggapnya biasa.
"Udah lapor ke guru?" tanyaku lagi.
"Bu Guru udah tau kok. Mereka udah dimarahin juga. Tapi ya tetep aja nakal lagi."
"Sejauh mana mereka nakalin kamu, maksud Kakak sampai mukul nggak?"
Raqina menggeleng,"Diolokin aja, Kak."
"Trus temenmu yang lain nggak ada yang belain kamu?"
"Ada sih, satu." Dia berhenti bicara. Aku pun ikut diam, menunggunya buka suara lagi.
"Kakak masih inget pas Qina kempesin motornya Kak Ika sama Kak Wicak gara-gara mau nolongin temen Qina?"
Aku mengangguk. Tentu saja aku ingat kelakuan antiknya yang satu itu. Lagipula, di hari itu juga untuk pertama kalinya aku berantem sama Gilang setelah jadian.
Lah? Kenapa jadi nyambung ke dia sih? Menyedihkan banget lo, Ka.
"Trus?"
"Jadi ya Dila itu, satu-satunya yang mau belain dan juga yang masih mau temenan sama Qina. Yang lainnya sih udah disuruh mama mereka buat jauhin Qina."
"Hah?"
Oke, aku beneran shock sekarang. Masih ada ya ternyata orangtua yang berpikiran aneh seperti itu. Maksudku, yang bersalah kan papanya Raqina, tapi kenapa mereka menyuruh anak-anaknya menjauhi Qina? Konyol.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENCHANTED [COMPLETED]
General Fiction"Do you ever think about future?" "Of course I do." "Am I in it?" "Cherry, you are it." *Spin-Off dari Beautiful Mining Expert dan Anesthetized In Your Charm, by @verbacrania. *10 in General Fiction (21 Oktober 2016).