Gin-hoa-nio telah menyingkir ke samping, ia hanya menonton tanpa ikut bicara. Ia tahu api sudah menyala dan tidak perlu diberi minyak lagi.
Dilihatnya Ang-hoa dan Hwe-long lagi saling melotot, sampai lama sekali keduanya tetap diam saja.
Tiba-tiba Hwe-long mendekati meja, kursi ditariknya lalu duduk, katanya dengan tersenyum, "Tio loji, mengapa tidak duduk saja dan marilah kita berbincang-bincang.""Duduk ya duduk, orang lain takut kepada tipu muslihatmu, masa akupun takut kepadamu?" kata Ang-hoa, segera iapun menarik kursi dan duduk.
Dengan tersenyum Hwe long berkata pula, "Sebuah meja boleh berpasangan dengan dua kursi bukan?"
Ang-hoa tidak tahu untuk apakah lawannya bertanya tentang tetek bengek begitu, ia cuma mengangguk dan menjawab singkat, "Betul!"
Hwe-long mengangkat poci dan menuang dua cangkir the, katanya pula dengan tertawa, "Dan satu poci juga boleh berpasangan dengan dua cangkir, betul tidak?"
"Huh, omong kosong!" omel Ang-hou dengan gusar.
Dengan tertawa Hwe-long menyodorkan secangkir teh yang dituangnya itu dan berkata, "Jika kita sama-sama dapat minum teh, untuk apa mesti berkelahi mati-matian?"
Lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah dapat merasakan maksud tujuan ucapan si serigala kelabu, diam-diam ia berkerut kening.
Didengarnya Ang-hou menjawab dengan aseran, "Sesungguhnya apa arti ucapanmu, aku tidak paham!"
"Tentunya kau pernah membaca, dahulu ada dua ratu bersama mengawini seorang suami dan kisah itu dijadikan cerita yang menarik. Sekarang kita berdua adalah saudara, mengapa kita tidak boleh berkongsi mengawini seorang isteri?"
"Urusan lain boleh berkongsi, hanya isteri yang tidak boleh berkongsi," jawab Ang-hou dengan gusar.
"Sabar, pertimbangkan dulu," kata Hwe-long." Musuh kita tidaklah sedikit, umpama aku kau bunuh dan tersisa kau sendiri, apakah kau takkan kesepian dan kehilangan kawan? Apalagi bila kita bergebrak sungguh-sungguh, siapa yang akan terbunuh kan juga masih suatu tanda tanya, betul tidak?"
Lama juga Ang-hou melototi si serigala, tiba-tiba ia tertawa, katanya, "Betul juga, setengah potong bini rasanya lebih baik daripada sama sekali tidak punya bini. Apalagi melihat gairahnya yang menyala, sendirian belum tentu ku sanggup melayani dia." Ia angkat cangkir dan berkata pula, "Saudaraku yang baik, usulmu sangat bagus, terimalah hormat satu cangkir ini."
Gin-hoa-nio tertawa terkikit-kikik, ucapnya, "Usulnya memang bagus, setelah kau minum teh ini, tentu kau akan tahu betapa bagus usulnya ini."
Berputar biji mata Ang-hou, cangkir teh yang sudah diangkatnya ditaruhnya lagi. Meski sebodoh kerbau orang ini, betapapun sudah puluhan tahun dia berkecimpung di dunia Kangouw, perbuatan baik mungkin dia tidak paham, tapi perbuatan busuk tidak sedikit yang diketahuinya. Sambil masih memegangi cangkir teh itu, ia melototi Hwe-long dan berkata, "Apakah di dalam air teh ini kau hendak main gila padaku?"
"Lo-ji, jangan kau sembarangan menuduh, kita adalah saudara sendiri, jangan mau diadu domba orang," teriak Hwe-long.
Gin-hoa-nio tertawa dan berkata, "Jika demikian, boleh coba kau minum teh itu." Dengan berlenggak-lenggok dia mendekati Ang-hou dan mengambil cangkir teh itu terus disodorkan ke depan Hwe-long. Di luar tahu orang, ujung kukunya yang bercat merah itu seperti dicelup perlahan ke dalam teh. Lalu ucapnya dengan tertawa genit, "Kau bilang air teh ini beracun, jika kau tidak mau minum juga takkan kusalahkan kau."
"Kalau kau tidak berani minum teh itu, segera kugencet pecah kepalamu!" teriak Ang-hou dengan gusar.
Air muka Hwe-long bertambah pucat, serunya, "Teh ini semula tidak beracun, tapi sekarang telah kau racuni."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Renjana Pendekar / A Graceful Swordsman (Ming Jian Feng Liu) - Gu Long
General Fiction1. Renjana Pendekar 2. Imbauan Pendekar Ji Pwee Giok menyaksikan ayahnya yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan meninggal dibunuh orang, kemudian ayahnya hidup lagi, paman-pamannya yang sudah matipun bisa hidup lagi. Menyaksikan adanya k...