Imbauan 3

1.3K 24 1
                                    

"Setelah mendapat petuah Suhu tadi, Tecu merasa dosa sendiri sudah kelewat takaran dan malu untuk hidup di dunia ini, Tecu rela menerima hukuman badan disayat pisau perak untuk menebus dosa" demikian ratap Siang Ji-long sambil mendekam di tanah.

Ucapan ini membuat semua orang terkejut dan bertambah heran.

Thian can kaucu juga berkerut kening, katanya, "Tentunya kau tahu hukuman badan disayat pisau termasuk hukuman mati agama kita?"

"Ya, Tecu tahu," jawab Siang Ji-long.

"Padahal sudah kuampuni kau, kenapa kau minta dihukum?"

Dengan pedih Siang Ji-long menjawab, "Hal ini dilakukan Tecu dengan sukarela, sebab Tecu merasa berhutang budi kepada Suhu dan tidak dapat membalas, terpaksa menggunakan jiwa Tecu sebagai teladan bagi para Sute agar mereka bisa lebih prihatin."

Sikap Thian can kaucu tambah lunak, ucapnya, "Tak tersangka kau mempunyai rasa kesadaran demikian, tidak percumalah ajaranku selama ini. Persoalan hari ini mestinya akan kuberi hukuman setimpal padamu, tapi karena kau sudah menyadari akan kesalahanmu, maka sudahlah, berdirilah kau."

Diam-diam Cu Lui-ji merasa geli, pikirnya "Kiranya Siang Ji-long menggunakan akal 'Ko-bak-keh' (akal menyiksa diri sendiri) untuk menghindarkan hukuman berat..."

Tak terduga, tiba-tiba Siang Ji-long berkata pula dengan menyesal, "Meski Kaucu telah mengampuni Tecu, tapi Tecu tak dapat mengampuni dirinya sendiri, Tecu mohon sebelum ajal diperkenankan mengutarakan segenap dosanya supaya Tecu bisa merasa tenteram."

"Kesalahan apa yang telah kau lakukan sudah kuketahui seluruhnya, kukira tidak perlu lagi kau katakan," ujar Thian can kaucu.

Dengan pedih Siang Ji-long berkata, "Meski pandangan Kaucu maha tajam, tapi ada pula perbuatan Tecu yang kulakukan di luar tahu Kaucu, sekarang setelah Tecu mengetahui betapa luhur budi Kaucu terhadap Tecu, bilamana perbuatan Tecu itu tidak kubeberkan di depan Kaucu, sekalipun hidup Tecu akan merasa tidak aman, mati pun akan merasa tidak tenteram."

Mau tak mau Thian can kaucu terkesiap oleh permintaan Siang Ji-long yang ngotot itu, Cu-lui ji juga terheran-heran, ia pikir, "Kalau Siang Ji-long ini menggunakan akal Ko-bak-keh, tentu sekarang sudah cukup baginya, mengapa dia masih terus ngotot begini, apakah dia memang sudah bosan hidup? Sesungguhnya apa maksud tujuannya?"

Selang sejenak, terdengar Thian can kaucu berkata. "Jika demikian, bolehlah kau uraikan."

"Selama ini Kaucu memandang Tecu seperti anak sendiri," demikian Siang Ji-long mulai menutur. "Kim-hoa, Gin-hoa dan Thi-hoa bertiga nona juga memandang Tecu sebagai saudara, akan tetapi Tecu ternyata tidak tahu budi, sebaliknya malah timbul napsu binatang..." dia melirik sekejap ke arah Gin hoa nio, lalu menyambung, "lima tahun yang lalu, pada suatu malam di musim panas di bawah sinar bulan purnama, ketika Ji kohnio sedang mandi di sungai, waktu itu usianya masih kecil sehingga tidak menaruh prasangka apa pun terhadap Tecu, tapi demi melihat tubuh Ji kohnio yang putih mulus, tubuhnya yang sudah tumbuh cukup masak itu, mendadak timbul pikiran busuk Tecu dan hendak...hendak...memperkosanya..."

Cara bicara Siang Ji-long ternyata terang-terangan, bahkan melukiskan kejadian itu dengan gerakan nyata.

Geli dan juga gemas Lui-ji, ia merasa biarpun ingin mengaku dosa, mestinya juga tidak perlu bergaya sejelas itu.

Tak tahunya Thian can kaucu ternyata tidak menganggap berlebihan uraian Siang Ji-long itu. sebaliknya malah memuji akan kejujurannya. katanya dengan perlahan. "Untuk kesalahanmu itu kau sudah dihukum dengan ulat menggeragoti badan, maka tidak perlu kau merasa menyesal."

"Namun sejak itu, bila Tecu teringat kepada kejadian itu, segera nafsu birahi Tecu akan terangsang," tutur Siang Ji-long pula. "Dari sini terbuktilah bahwa tecu sesungguhnya bukan manusia, bahkan lebih kotor daripada hewan."

Seri Renjana Pendekar / A Graceful Swordsman (Ming Jian Feng Liu) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang