Melihat tekad Ji Pwe-giok, pemuda baju hitam itupun menghela napas, ucapnya, "Sayang, sungguh sayang!"
Sejak tadi Pwe-giok juga memperhatikannya, dilihatnya usia orang ini masih muda, tapi berdirinya setegak gunung Thay yang kukuh, tampaknya bahkan lebih mantap daripada Lo cinjin.
Dia hanya berdiri begitu saja, tanpa pasang kuda-kuda, namun seluruh badannya seolah-olah terjaga rapat, sedikitpun tiada peluang yang dapat diserang musuh.Diam-diam Pwe-giok mengerahkan tenaga, ia merasa jalan darahnya sudah lancar, tidak ada lagi rasa kaku, ia tahu khasiat obat bius sudah punah.
Akan tetapi setelah bekerja keras tiga hari tiga malam tanpa istirahat dan tidur, betapapun badan terasa pegal dan linu.
Dalam keadaan demikian sebenarnya bukan waktunya untuk berkelahi dengan orang, tapi musuh sudah berada di depan, terpaksa Pwe-giok membangkitkan semangat, ucapnya sambil memberi hormat, "Silahkan!"
"Awas, sekali turun tangan biasanya aku tidak kenal ampun, kau harus hati-hati," kata pemuda baju hitam dengan suara kereng.
Di tengah bentakan, langkah kedua orang saling bergeser, dalam sekejap keduanya sama-sama menyerang tiga kali.
Begitu menyerang segera keduanya sama menarik kembali serangannya, nyata mereka sama hendak menguji kekuatan lawan. Memang beginilah sikap prihatin pada waktu bertempur antara tokoh terkemuka.
Baru sekarang Pwe-giok tahu pemuda angkuh ini tidaklah meremehkan dia.
Meski sejak mula Pwe-giok sudah merasakan orang pasti bukan lawan empuk, akan tetapi ia sendiri pun cukup bergaya dan berwibawa, kukuh laksana gunung.
Meski kedua orang ini sama-sama masih muda, tapi sekali bergebrak jelas kelihatan luar biasa, lamat-lamat sudah menyerupai gaya seorang pemimpin besar suatu aliran.
Dalam pada itu di sekeliling kereta tadi kecuali beberapa orang berseragam hitam, mendadak dari tempat gelap melompat keluar pula belasan orang sehingga mereka terkepung di tengah.
Sorot mata orang-orang ini menampilkan rasa cemas dan benci, namun sikap mereka tidak tegang, jelas mereka cukup yakin akan kemampuan si pemuda baju hitam. Semuanya percaya betapa hebat lawannya akhirnya si pemuda baju hitam pasti akan menang.
Hanya sekejap saja kedua orang sudah saling labrak belasan jurus, namun tiada sesuatu jurus serangan yang istimewa. Lebih-lebih si pemuda baju hitam, meski tenaganya kuat dan serangannya mantap, tapi jurus serangannya sangat umum.
Namun jurus-jurus serangannya yang umum itu justeru tidak sama dengan ilmu silat golongan manapun di dunia ini.
Biasanya ilmu silat dari suatu aliran tersendiri tentu ada jurus serangan istimewa yang diandalkannya, akan tetapi kungfu pemuda ini justeru begitu-begitu saja, tidak sedahsyat ilmu pukulan Siau-lim-pay, juga tidak selincah kungfu Bu-tong-pay. Jadi tidak ada sesuatu yang aneh, malahan sepintas pandang seperti tidak ada gunanya sama sekali.
Diam-diam Lui-ji juga heran, belum pernah dilihatnya seorang yang bertenaga dalam sehebat ini justeru menggunakan jurus serangan tak becus begini. Tanpa terasa ia bergembira.
Ia pikir kalau pemuda ini bukan belajar kepada guru yang bodoh seperti kerbau, tentunya dia berlatih sendiri secara ngawur, maka hasilnya juga kungfu kampungan seperti cakar kucing.
Ia pun heran mengapa Ji Pwe-giok tidak mengeluarkan Kungfu lihai seperti apa yang digunakan untuk menghadapi Lo-cinjin itu. Padahal bertarung dengan lawan bodoh seperti pemuda baju hitam ini cukup dua-tiga jurus saja tentu Pwe-giok dapat merobohkannya, adalah kejadian aneh bila lawan dapat menangkis atau menghindar.
Saking tidak sabar, hampir saja Lui-ji berteriak, "Orang sudah menyatakan tak kenal ampun padamu, mengapa Sicek sungkan padanya, memangnya kau hanya main-main saja dengan dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Renjana Pendekar / A Graceful Swordsman (Ming Jian Feng Liu) - Gu Long
General Fiction1. Renjana Pendekar 2. Imbauan Pendekar Ji Pwee Giok menyaksikan ayahnya yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan meninggal dibunuh orang, kemudian ayahnya hidup lagi, paman-pamannya yang sudah matipun bisa hidup lagi. Menyaksikan adanya k...