Sudah tentu Sin-to Kongcu tidak tahu sebab apa Gin-hoa-nio bergembira dan merasa geli, yang dirasakan cuma gaya tertawa Gin-hoa-nio yang menggiurkan itu, ia memandangnya dengan kesima, sampai sekian lamanya barulah ia berkata pula:
"Waktu itu, demi melihat Lim Tay-ih tidak berkabung, sebaliknya malah sudah bergaul dengan lelaki lain, sungguh hatiku sangat gemas. Kupikir perempuan ini ternyata seorang munafik, lahirnya kelihatan dingin dan kereng, se-olah2 puteri suci yang tak boleh diganggu, nyatanya cuma seorang perempuan yang tidak teguh imannya dan berharga murah."
Gin-hoa-nio tertawa ter-kikik2, katanya kemudian, "Berada bersama seorang lelaki kan tidak berarti perempuan itu suka jual murah. Saat ini bukankah akupun berada bersamamu?"Hampir semaput Sin-to Kongcu oleh lirikan Gin-hoa-nio yang memikat itu, segera ia bermaksud lagi meraba tangannya, ucapnya dengan menyengir, "Sudah tentu aku dan kau bukan..."
"Kemudian bagaimana?" mendadak Kim-yan-cu berteriak. "Mengapa tidak kau sambung?"
Sin-to Kongcu berdehem perlahan dan menegakkan tubuhnya, tuturnya, "Kemudian kami mondok di suatu hotel, kulihat mereka tinggal bersama di satu kamar."
"Hm, jadi kau selalu membuntuti mereka?" jengek Kim-yan-cu.
"Apa maksudmu selalu membuntuti orang?" tanya Gin-hoa-nio dengan ter-kekeh2. "Barangkali kau ingin mengintip... mengintip... atau kau sendiri juga ingin ambil bagian?"
Muka Sin-to menjadi merah, serunya, "Masa aku ini orang macam begitu? Soalnya di sana hanya ada sebuah hotel, terpaksa akupun masuk hotel itu supaya tidak tidur di jalanan."
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Jangan kau marah. Padahal lelaki mana yang tidak mata keranjang. Bilamana lelaki melihat seorang perempuan yang jual murah, kalau dia tidak ikut mencicipi, maka akan dirasakan rugi besar. Kukira lelaki umumnya sama saja, siapa tahu kau... kau ternyata lain daripada lelaki lain."
Andaikata Sin-to Kongcu memang rada dongkol, setelah mendengar kata2 ini, lenyap juga rasa marahnya.
Biji mata Gin-hoa-nio berputar, dengan tertawa genit ia berkata pula, "Eh, tapi pada malamnya kau mengintip juga bukan?"
Cepat Sin-to Kongcu menjawab, "Hah, masa ku intip orang macam begitu? Soalnya kamarku berada di sebelah mereka, sampai tengah malam kudengar mereka ribut mulut di kamarnya."
Baru sekarang Kim-yan-cu tidak tahan dan bertanya, "Sebab apa mereka bertengkar?"
"Waktu kulihat mereka tampaknya Lim Tay-ih sedang sakit, sampai berjalan saja tidak kuat," tutur Sin-to Kongcu. "Ji Pwe-giok itu memayangnya dengan penuh kasih mesra, jika aku jadi dia tentu kikuk dilihat orang banyak. Bila aku tidak tahu seluk beluk mereka, mungkin akan menyangka mereka itu suami isteri. Ketika kudengar suara pertengkaran mereka, aku menjadi terheran-heran."
"Hihi... makanya kau tidak tahan dan ingin melihatnya," tukas Gin-hoa-nio dengan tertawa ngikik.
"Tapi aku tidak mengintip," ujar Sin-to Kongcu. "Baru saja ku keluar kamar dan sampai di halaman, mendadak Lim Tay-ih itu membuka pintu dan menerjang keluar dengan pedang terhunus."
"Wah, aneh juga nona Lim itu," ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Baru sembuh sakitnya lantas mau membunuh orang. Apakah Ji-kongcu yang telah merawatnya itu dianggap salah?"
"Menurut pengamatanku, tentu Ji Pwe-giok itu telah menggagahi orang pada waktu orang sedang sakit, makanya begitu menerjang keluar segera Lim Tay-ih itu berteriak, "Hayo keluar, Ji Pwe-giok, hari ini kalau bukan kau yang mampus, biarlah aku yang mati!" Pada saat itulah baru ku tahu bocah itu bernama Ji Pwe-giok."
Gin-hoa-nio melirik Kim-yan-cu sekejap, katanya dengan tertawa, "Jika demikian, Lim Tay-ih itu se-olah2 benar-benar telah dimakan oleh Ji Pwe-giok itu, makanya dia menjadi dendam dan ingin mengadu jiwa dengan dia. Bagaimana Cici, menurut kau apakah memang begitu kepribadian Ji-kongcu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Renjana Pendekar / A Graceful Swordsman (Ming Jian Feng Liu) - Gu Long
General Fiction1. Renjana Pendekar 2. Imbauan Pendekar Ji Pwee Giok menyaksikan ayahnya yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan meninggal dibunuh orang, kemudian ayahnya hidup lagi, paman-pamannya yang sudah matipun bisa hidup lagi. Menyaksikan adanya k...