Olvacya Aida P.O.V
"Sekarang aku beneran pulang. Gak bakalan balik lagi ke kostan ini," ujar Rival dengan nada serius."Kok gitu?" aku membenarkan posisiku menjadi duduk.
"Aku dapat beasiswa ke Jepang," jawab Rival sambil menatapku. Aku sedikit kaget. Aku menatap matanya. Mencari sebuah kebohongan. Tapi tidak ada kebohongan sedikitpun. Dia benar-benar serius.
"Berapa lama?"
"Sekitar 4 tahun,"
"Kapan berangkatnya?"
"Besok malam,"
"Ohh," hanya itu yang dapat aku katakan. Entah kenapa serasa ada sesuatu yang sakit mendengar dia akan pergi.
Hening.
Tak biasanya suasana ini terjadi. Tidak ada percakapan. Kami hanya diam. Seolah-olah waktu sedang berhenti.
"Aku akan membantumu," kataku mencoba mencairkan suasana. Aku berdiri dari dudukku. Menghampiri Rival yang sedang melipat bajunya. Saat aku akan mengambil bajunya, tanganku digenggam oleh Rival.
"Tidak usah. Kau duduk saja," kata Rival.
"Tapi--"
"Biar ibuku saja. Sebentar lagi ibuku datang menjemputku," Rival memotong ucapanku, aku menurut. Aku duduk disamping Rival. Aku melihat Rival tampak berpikir. Dia menatapku. Tatapan yang tidak dapat ku artikan. Aku benci tatapan itu.
"Aku akan pergi ke Jepang," katanya.
"Iya. Tadi kamu sudah bilang,"
"Aku disana akan lama. Sekitar 4 tahun,"
"Iya. Tadi kamu juga udah bilang,"
"Besok malam aku berangkat,"
"Iya. Kamu juga udah bilang tadi," kali ini aku ingin tertawa mendengarnya. Tapi aku tahan, takut dia tersinggung.
"Aku bakalan ninggalin kamu," ujar Rival.
Degg
Aku merasa ada sesuatu yang sakit lagi.
"Iya, aku tau,"
"Mungkin kita juga gak akan bertemu lagi," aku merasakan sesuatu yang semakin sakit. Lidahku juga seperti sulit untuk berbicara.
"Iya gakapapa," kataku yang kini sudah tidak mampu menatapnya lagi. Mataku terlalu perih untuk menatap wajahnya.
"Sekarang hidup kamu bakalan tenang. Gak bakalan ada yang ngegangguin kamu lagi."
Satu tetes air mata lolos dari mataku. Sekarang aku tau, yang terasa sakit adalah mataku.
"Maafin aku yang suka gangguin kamu. Maafin aku yang suka nyakitin kamu. Maafin aku,"
Aku tidak dapat menahan air mata lagi. Kali ini aku benar-benar menangis. Kata-katanya biasa saja. Tapi kenapa membuatku menangis? Aku menundukkan kepalaku. Pundakku bergetar.
"I...iya," kataku yang entah terdengar atau tidak. "Aku juga minta maaf," ucapku sambil terisak.
Rival menarikku kepelukannya. Memeluk dan mengelus punggungku. Aku menangis dipelukannya. Pelukannya yang hangat dan nyaman membuatku betah berada dipelukannya. Aku akan merindukan pelukannya. Merindukan orangnya juga.
☆
Tok tok tok
"Val.." panggil seseorang.
"Rival.." orang itu kembali memanggil Rival. Dan mengintip di jendela kaca Kostan Rival.
"Val... Rival..." kali ini suara itu dapat membangunkan kami. Kami tertidur setelah aku menangis. Kami tidur di atas ranjang. Kami tidur dengan posisi berpelukan, karena aku beberapa kali hampir terjatuh dari atas ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai You!
Teen FictionHidup itu seperti labirin, kalau tidak ya riddle, berbelit-belit dan penuh teka-teki. Cinta itu seperti perang. Ada yang memperjuangkan, diperjuangkan, dan dikorbankan. "Bermain cinta di sebuah labirin dengan riddle sebagai surat cinta."