2 - Bertahta di hati yang salah

1.8K 88 12
                                    

Azrina baru saja kembali ke pondok setelah beberapa hari pulang ke rumah karena sakit.
Namira menyambutnya gembira di pintu gerbang asrama.

"Sayangkuuuuuuhh.. aku kangen banget. Anak-anak pada jahil sama aku kalo gak ada kamu..." Baru saja bertemu, Namira sudah mengadu pada Azrina.

Memang Namira seperti tidak berdaya tanpa Azrina. Bahkan setelah dia menjadi pembina--penguasa asrama-, tetap saja santri-santri binaannya tidak takut padanya. Jangankan menuruti perintahnya, Namira selalu dikerjai habis-habisan. Jika Azrina ada, Namira aman. Bukan, bukan karena Namira dibenci, tetapi justru karena dia sangat bersahabat dan terlalu sering bercanda dengan seluruh santri, bahkan dikerjai pun dia tidak akan marah. Malah sesekali dia yang mengajak santri-santri berbuat jahil. Akibatnya, para santri pun senang mengerjainya sebab dia tak pernah memberi hukuman. Statusnya sebagai pembina hanya sebatas status belaka, selebihnya dia hanya seorang kakak yang tidak disegani, tapi disenangi dan terkadang dibodohi.

Namira memang masih terlihat kekanak-kanakan. Tapi dibalik semua itu, ia hanya berusaha riang untuk menyembunyikan luka yang masih tersisa di dalam hatinya. Hanya Azrina yang mengerti, dan hanya Azrina yang bisa mengendalikan Namira. Mengingatkannya untuk bersikap sedikit dewasa, atau mengomelinya agar tidak terlalu sering bermain bersama para santri.

"Kita ini pembina, tanggung jawab penuh ada di pundak kita. Baik buruknya santri nanti orang tuanya pertama kali bakal nanyain ke kita. Kita bukan santri lagi yang kalau melanggar bisa dibayar dengan iqob (hukuman). Pembina nggak dihukum lagi bukan berarti kita bebas nggak ikut aturan, tapi justru kita yang harus lebih patuh karena kita yang membuat aturan, dan kita memberi contoh untuk itu."
Nasihat Azrina sudah sangat Namira hafal.

"Iya, iyaaa.. kamu mau bilang, kita pembina harus jadi pembina yang nggak ditakuti tapi dihormati, kan? Pembina yang nggak cuma disenangi tapi juga disayangi. Dan karena sayang itulah mereka jadi taat, ada atau nggak adanya kita mereka tetap patuh sama aturan kita. Iyaaa, Az.. aku akui kamu memang sempurna sebagai pembina tipe kayak gitu. Dan aku, biarinlah aku jadi pembina model gini, biar rame ajaaaa..." Lagi, Namira selalu menjadikan setiap hal sebagai bahan bercandaan. Jika sudah begini, Azrina juga hanya bisa tertawa. Bagaimanapun karakter Namira memang seperti itu, dan sejauh ini dia sudah jauh lebih banyak berubah semakin baik dari pertama kali ia ke pondok ini. Selama keisengannya itu tidak keluar dari batas-batas syariat Azrina juga tidak sepenuhnya menyalahkan. Karena sebenarnya Namira juga memahami bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap dan bertindak layaknya wanita shalihah yang membuat iri para bidadari surga, meski hampir semua nilai pelajaran agamanya tak pernah mendekati sempurna.

Dia hanya ekspresif, kreatif meski terkadang sedikit error.

Buktinya, majalah dinding yang tertempel di sepanjang koridor asrama dan juga kelas sebagian besar adalah gubahan-gubahan dari Namira. Hiasan-hiasan kaligrafi di beberapa titik pun adalah hasil karyanya. Dia gemar membaca, tapi lebih sering membaca kisah fiksi dan komik, cinta sekali menonton drama. Dan seluruh pondok juga tahu, dia juga adalah seorang penulis yang tulisannya selalu keren dan diminati. Kemahirannya membuat kaligrafi yang indah bahkan mengantarkannya berkali-kali juara saat mengikuti lomba. Dia bisa membuat novel islami dan komik karangannya sendiri meski hanya beredar di lingkungan asrama saja, Namira sudah cukup gembira bisa membuat orang-orang sekelilingnya merasa senang karena satu hal kecil dari dirinya. Ya, dia hanya mengekspresikan diri dengan cara yang berbeda.
Caranya sendiri.

🍁

"Nih buku kamu, aku balikin. Utuh..." Azrina mengembalikan buku milik Namira. Buku yang pernah dipinjam Jun Ki.

"Aku sih percaya kalo kamu yang pinjem pasti balik lagi utuh, bahkan lebih. Malah jadi disampul. Gumawoooo..." Azrina sudah sedikit akrab dengan kata-kata bahasa Korea karena sering mendengarnya dari Namira. Anak itu mengucapkan kata bahasa Korea hampir di setiap keadaan. Seperti saat ini ketika ia berterima kasih pada Azrina, Namira berujar sambil menempelkan pipinya ke pipi Azrina dengan senyum mengembang. Dia senang sekali bukunya kembali dengan rapi tersampul plastik bening.

"Tapi, bukan aku yang bungkus buku kamu itu, Mir." Azrina meluruskan. Ia menceritakan kejadian di sore hari yang hujan itu.

"Lee Jun Ki? Dia minjem buku aku?!..." Suara Namira memekik.

Azrina sedikit terkejut menyangka Namira akan marah karena meminjamkan bukunya pada orang asing tanpa seizinnya.
"Iya, Mir. Maaf yaaa.."

"Ya ampun Aaaazzz.. coba cubit aku.. aaaakk.. daeeeebakkk!!! Jun Ki oppa baca buku akuu.. aaaaaakkk.. aku gak mimpi kan, Az? Coba aku tau bakal gini, aku pinjemin kamu buku karangan akuuuu trus dia baca.. aaaaak.. aku seneng bangeet, sering-sering aja ya, Aaaaz.." Disangka akan mengamuk, Namira justru kegirangan sampai hilang pijakan.
Melihat reaksi Namira, Azrina benar-benar mencubit lengannya.

"Awww.. sakiiitt.. ih Azrinaaa.." Keluh Namira. Ia kesal Azrina membuyarkan khayalan manisnya.

"Kamu ini yaaa, lebay bangeet! Perempuan tuh nggak boleh gitu!" Komentar Azrina dengan mengerutkan alisnya.

"Iiih, apa salahnya sih, Aaaz.. Aku cuma seneng doang. Ga boleh? Lagian kamu tau, Jun Ki oppa itu saaaangat mengagumkan. Terus buku aku dibaca sama dia, disampulin lagi, siapa coba yang nggak girang. Kyaaaaa!!!" Namira membela diri, masih histeris kegirangan nyaris seperti big fans yang menonton konser idolanya. Bedanya dia cuma berkhayal.

"Eeh, hati-hati mengagumi seseorang. Setan tak pernah lengah mencari celah. Nanti kamu kecolongan, malah jadi naksir. Lagian dia siapa sih? Cuma orang asing yang tidak se-me-ngagum-kan yang kamu pikirkan!" Azrina lagi-lagi mengingatkan. Benteng pertahanannya kokoh sekali dalam urusan hati.

"Ah! Tauk ah! Kamu emang nggak bisa diajak kompromi buat senang-senang kaya gini. Aku penasaran, siapa nanti yang bisa runtuhin tembok tebal di hati kamu itu. Apa jangan-jangan nggak ada yang bisa terus kamu perawan selamanya? Hiiiiyyy"
Namira menutup percakapan mereka dengan kalimat yang membuat mereka berdua bergelak tawa. Sungguh manis persahabatan mereka, meski saling berbeda pendapat tapi tak pernah berselisih berkepanjangan. Bahkan perselisihan mereka juga ditutup dengan tawa dan saling berpelukan.

🍁

Azrina sedang memimpin apel pagi para santri sebelum mereka masuk kelas dan memulai pelajaran.
Namira tidak ada jadwal apa-apa hari ini, dia berbaring santai di atas tempat tidurnya. Di tangannya ia menggenggam buku yang baru dikembalikan Azrina. Ia masih tersenyum-senyum sendiri mengingat buku yang dipegangnya itu pernah juga dipegang oleh Jun Ki. Sesekali ia menatapnya lalu mendekapnya lalu menatapnya kembali. Dia benar-benar hilang kendali.
Sampai sesuatu yang akan lebih bisa membuat detak jantungnya semakin tak terkontrol ia temukan di lembaran terakhir bukunya. Tepat di bawah tulisan tangannya. Ada tulisan tangan yang berhasil melambungkan jiwanya. Ia yakin itu bukan tulisannya, dan ia yakin sekali tulisan itu belum lama berada disana.

"Tulisan siapa ini?" Hatinya bertanya meski sudah tahu siapa yang menulisnya.

Ya. Tulisan itu adalah tulisan tangan Jun Ki. Jun Ki yang menulisnya dengan wajah dipenuhi gurat kebahagiaan. Manis sekali senyumnya saat tangannya perlahan meraih pena lalu mulai menulis kata demi kata. Semanis wajah Azrina yang terus membayangi fikirannya.

"Bisakah aku menjadi sahabat, agar bisa selamat?
.
.
.
Nice poems!
Glad to know you, Namira..."

Begitu Jun Ki menuliskan kalimatnya. Kalimat yang biasa saja sebenarnya, ia tidak ahli menuliskan kata-kata puitis seperti Namira, lagi pula bahasa Indonesianya masih belepotan. Tapi cukup untuk membuat Namira tersenyum seharian dan tidak tidur semalaman.

Ia mendapat pesan dari seseorang yang belum lama dikenalnya hanya sebatas nama dan sekilas melihat wajahnya. Seseorang yang belum pernah bertemu dengannya, tetapi seketika terasa begitu dekat, begitu bersahabat.

Lee Jun Ki. Nama itu kini gagah bertahta pada sebuah kerajaan hati. Kerajaan hati yang semula rapuh nyaris runtuh, lalu menjelma utuh berkat datangnya sebuah nama dengan secercah harapan. Harapan yang bersinar terang tetapi menyejukkan.

Sayangnya, nama itu bertahta pada hati yang salah. Hati yang tidak seharusnya...

🍁🍁🍁

For The Rest Of My Life [COMPLETED]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang