[PROLOG]

178K 10.5K 383
                                    

"Cium cowok yang nanti masuk lewat pintu itu."

Aku melebarkan mata, secara otomatis kepalaku menggeleng sedang telapak tanganku mengibas tanda tidak menyetujui usul Aya. Kami sedang hangout bersama—aku, Aya, Nilam, dan Vika. Karena merasa bosan dengan obrolan yang itu-itu saja, kami memutuskan untuk bermain Truth or Dare. Kebetulan saja sekarang giliranku, dan aku mendapatkan dare dari Aya untuk mencium lelaki random yang pertama kali terlihat memasuki pintu café.

"Ayolah, Lis. Nggak susah, kok. Tinggal cium. Selesai," ujar Vika menimpali. Gadis bersurai sebahu itu kemudian tertawa tanpa dosa setelah melayangkan tosnya bersama Aya. Sial, mereka kompak mengerjaiku.

"Gue nggak mau," tuturku tetap ngotot menolak dare dari Aya. "Pertama gue nggak mau nyium sembarang orang, emang gue cewek apaan coba? Kedua gue cuma mau nyium suami gue nanti," lanjutku memberikan alasan yang cukup logis untuk menolak tantangan tidak masuk akal itu.

"Apa maksudnya tuh?" Vika bertanya penasaran. "Cuma suami? Berarti pas dulu pacaran sama Kevan belum pernah ciuman, dong?" Pertanyaan kali ini dilontarkan begitu heboh diiringi tepuk tangan Vika.

"Memang belum."

"Gila, si Kevan tahan banget nggak cium lo, Lis. Keren." Kali ini Aya yang memberikan dua jempolnya ke arahku. Padahal dia tengah memuji Kevan—si mantan pacar—bukan aku.

"Nih bibir masih suci, tahu." Aku me-manyun-kan bibir. "Ini pipi juga masih suci. Kevan cuma boleh cium tangan gue doang dulu," ujarku dengan senyum bangga yang entah mengapa ditanggapi gelengan prihatin dari Aya dan Vika.

"Ya udah, si Elis disuruh cium pipi aja. Kasihan kan dia udah sejauh ini jaga keperawanan bibirnya, malah diambil sama orang yang belum tentu jelas." Nilam yang sejak tadi diam akhirnya memberikan sebuah solusi. Solusi yang tetap menjerumuskanku, tapi juga melindungiku. Si kalem Nilam memang yang paling bijaksana.

"Nggak seru dong kalau pipi."

Vika mengangguk, menyetujui protes Aya. "Cium bibir aja kenapa, sih?"

"Udahlah, pipi aja. Masih syukur gue mau terima." Dari pada berakhir dengan keputusan untuk mencium bibir, sebaiknya aku mengiyakan dengan segera solusi mencium pipi. Ini jauh lebih baik, setidaknya keperawanan bibirku terjaga.

"Gimana? Pipi?"

Aya dan Vika terlihat saling berpandangan. Ada sorot kekecewaan dari kedua pasang netra mereka, tetapi tidak berapa lama akhirnya dua kepala itu mengangguk. Menandakan setuju dengan usul Nilam soal ciuman di pipi saja.

"Oke!"

Aku sedikit bersemangat, entah karena apa. Padahal sebelumnya aku yang paling menentang keras soal dare tidak masuk akal ini. Lebih baik jika aku mendapatkan truth dan membeberkan alasan berpisah dengan Kevan dulu. Yang ini jauh lebih merugikan, walau sensasinya mampu memacu adrenalin.

"Itu, ada yang masuk."

Bisikan Aya membuat kinerja jantungku berlipat ganda. Aku meremas telapak tanganku sendiri. Bibir kugigit guna mengurangi rasa gugup. Dalam hati diriku terus berdoa, semoga saja yang masuk nanti bukanlah seorang lelaki aneh atau om-om mesum. Bisa kacau nanti, disangka aku cabe-cabean.

Pandangan kami terpusat pada satu titik, pintu masuk café tempat kami berada. Perlahan pintu kaca itu bergerak, begitu pelan seperti adegan slow motion di film-film. Jantungku semakin berdebar tidak karuan saat menangkap sepasang sepatu mengkilap mulai melangkah memasuki café. Perlahan pandanganku beralih. Semakin ke atas hingga mampu menatap jelas bagaimana raut serta penampilan si lelaki random korban ciuman pipiku.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang