"Jadi, udah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan Mas Bian?"
"Itu—" Jujur aku bingung harus menjawab apa. Pertanyaan Kirana benar-benar menjebak. Seharusnya, aku meminta pertanggungjawaban Mas Bian atas pertanyaan adik dari mendiang istrinya ini. Ini semua terjadi akibat penjelasan Mas Bian yang tidak masuk akal, hingga wajar jika Kirana menaruh sedikit rasa curiga kepadaku.
"Kayaknya udah cukup lama, yah?" Kirana menyimpulkan sendiri tanpa peduli dengan jawabanku. Pandangan perempuan itu beralih, senyum masamnya terkembang saat memerhatikan Reka yang tengah sibuk bermain di playground yang kebetulan disediakan oleh restoran makanan cepat saji yang kami singgahi.
"Reka sepertinya senang sekali memanggilmu Mama. Kelihatannya hubungan kalian memang serius." Ada nada iri yang terasa saat Kirana mengatakan hal tersebut. Membuatku semakin yakin jika adik dari mendiang istri Mas Bian memang menaruh rasa pada (mantan) kakak iparnya itu.
Entah mengapa semakin yakin dengan hal tersebut, membuatku merasa tidak enak. Secara tidak langsung aku telah memupuskan harapan Kirana untuk bersanding dengan Mas Bian. Masih terekam jelas dalam ingatanku bagaimana ekspresi Kirana saat Mas Bian memperkenalkanku. Mas Bian memperkenalkanku sebagai seseorang yang sedang dekat dengannya, lebih tepatnya tengah menjalin hubungan dengan lelaki itu. Sebuah penjelasan yang tidak benar memang, tetapi itu penjelasan terbaik yang mampu Mas Bian berikan untuk melindungi harga diriku.
"Maaf, lama. Ada sedikit masalah dengan klien tadi." Kecanggungan antara diriku dan Kirana berhasil diakhiri oleh kedatangan Mas Bian. Lelaki itu baru saja menyelesaikan urusannya dengan salah satu klien perusahaannya melalui panggilan telepon. Membuat diriku terjebak berdua saja dengan Kirana hingga ditanyai macam-macam seperti tadi.
"Jadi, nanti Reka ikut Mas Bian ke kantor atau gimana?" tanya Kirana. Ekspresinya sudah sedikit berubah. Tidak lagi terdapat senyum masam yang menghiasi paras cantiknya. Tampaknya perempuan ini adalah aktris yang hebat, mampu menyembunyikan kekecewan yang dirasakannya dengan begitu baik.
"Terserah Reka aja, sih. Tadi dia cuma minta aku jemput dia bareng Elisyana. Kenapa? Kamu mau ajak dia ke rumah?"
"Iya, kalau Reka mau, sih. Lagian Bunda udah nyuruh Rana buat ngajak Reka ke rumah, kangen katanya."
"Coba entar kamu tanya ke anaknya. Mungkin Reka mau, soalnya beberapa kali dia ngajakin aku atau Mama buat ke tempat Bunda."
Percakapan terus berlangsung di antara Mas Bian dan Kirana. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Yang jelas hanya seputar keluarga Mas Bian, keluarga mendiang istrinya, dan Reka. Tidak ada hal lain, membuatku merasa sedikit terabaikan. Tidak kah mereka sadar bahwa masih ada aku di sini?
"Mama ...."
Aku menoleh cepat, entah sejak kapan Reka sudah berdiri di sebelahku. Dengan kedua pipinya yang menggembung, anak lelaki tampan itu terus menarik lengan kemejaku. "Haus."
Tanpa perlu bertanya apa yang diinginkannya, aku segera menyodorkan susu cokelat kotak milik Reka. Kelihatannya kegiatan bermain tadi cukup menguras energinya. Terbukti, dalam kurun waktu beberapa detik susu cokelat kotanya habis, tidak bersisa. Sempat ku tawarkan air mineral milikku—siapa tahu Reka masih merasa haus—tetapi anak itu menolak. Dia memilih duduk dipangkuanku sambil bersandar di dadaku. Setelah rasa hausnya hilang, kelihatannya anak ini mulai mengantuk.
"Reka mau pulang atau ke tempat Nenek sama Tante Rana?" tanya Mas Bian sembari mengusap surai putranya penuh sayang. Aku tersenyum mengamati interaksi keduanya. Reka menggeleng, tanda menolak diajak ke tempat Neneknya. Dan sebagai ayah yang baik, Mas Bian memenuhi keinginan putra semata wayangnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Kiss for Marriage
ChickLitPernikahan adalah sesuatu yang sakral. Ikatan sehidup semati sepasang anak manusia yang saling mencintai. Namun, bagaimana jadinya jika pernikahan harus dilakukan hanya karena sebuah ciuman? Elisyana Mega Putri bertemu Abyan Bagaskara pada sebuah si...