Warning: ada sedikit 17-plus... yang masih minus, tutup mata yah ^^
.
.
.
Tidak ada yang senekat diriku. Datang sendiri menemui mantan kekasih yang telah membuat kenangan buruk berkepanjangan, dengan status sebagai istri orang, dan hanya memiliki dasar kasihan dalam pertemuan ini. Yah, dasar untukku menemui Kevan adalah kasihan. Kasihan pada Tante Winda yang begitu bekerja keras untuk menghubungiku. Kasihan pada Kevan yang tidak beruntung karena harus mengidap penyakit ganas semacam kanker otak.
Aku mempercayai bahwa rasa kasihanlah yang mendominasi ketika memutuskan untuk menemui Kevan. Namun, ku rasa sedikit rasa peduli kepada mantan kekasih menyeruak ketika aku mulai memasuki area rumah sakit.
Aroma obat-obatan bercampur dengan desinfektan menyambutku. Beberapa tenaga medis tampak menganggukkan kepala, tidak lupa memberiku seulas senyum yang tampak ramah meski mereka tidak mengenalku sama sekali. Aku melewati koridor rumah sakit yang disebutkan Tante Winda melalui pesan singkat dengan langkah pelan. Bahkan debaran keras jantungku terasa seirama dengan langkah kakiku.
Aku pikir ini hal mudah. Bertemu dengan mantan kekasih yang telah tidak ditemui selama hampir 5 tahun, ku pikir tidak akan mempengaruhiku. Namun, nyatanya ini mempengaruhiku cukup banyak. Aku gugup, sekaligus takut. Pernah sekali aku mengagumi sosok Kevan, bukan tidak mungkin jika sosok lelaki itu akan menarikku untuk terjatuh padanya sekali lagi. Dan itu merupakan hal yang paling ku takutkan.
Mataku terpejam sesaat. Langkahku terhenti. Aku menggumamkan kata-kata yang harus ku ingat ketika berhadapan dengan Kavan nanti. "Kamu punya Mas Bian. Hanya Mas Bian." Aku kembali membuka mata sembari mengembuskan napas pelan. Ahh, seharusnya aku membawa Mas Bian bersamaku. Akan lebih mudah jika aku bersama suamiku. Kenapa juga baru menyadarinya sekarang?
"Oh, Elis!"
Belum mencapai ruangan Kevan, aku sudah menemukan sosok Tante Winda yang berlari kecil ke arahku. Tidak seperti pertemuan kami yang terakhir kali, Tante Winda terlihat lebih segar. Wajahnya tidak lagi terlihat sayu. Bahkan senyum terus terukir menghiasi wajahnya yang masih cantik meski menginjak usia 40-an.
"Tante kira kamu nggak jadi datang." Tante Elis mendekapku. Memberiku tepukan pelan di punggung beberapa kali. "Kok lama?"
"Tadi, ada urusan sebentar di butik Mama."
"Mama kamu punya butik?"
"Mama mertua."
Tarikan di kedua sudut bibir Tante Winda sedikit mengendur. Berbeda denganku yang justru semakin memperlebar senyum. Aku memang sengaja menyebutkan mengenai mertuaku, agar Tante Winda ingat bahwa aku sudah menjadi menantu orang lain. Bukannya terlalu percaya diri, tetapi aku merasa kalau Tante Winda memperlakukanku seolah diriku dan Kevan masih berhubungan.
"Oke, gimana kalau kita masuk sekarang?" Tante Winda meraih lenganku. Menuntunku menuju ke depan sebuah pintu yang ku yakini merupakan ruwang rawat Kevan. "Kevan pasti senang kamu datang."
"Tante belum bilang sama Kevan?"
Tante Winda tidak menjawab. Dia justru membuka pintu hingga aku menemukan seorang lelaki bertubuh kurus sedang duduk di ranjang sembari membaca buku. Lelaki itu menoleh ketika merasa bahwa ada yang memasuki ruangannya. Keningnya mengerut saat melihatku dan Tante Winda yang berdiri di ambang pintu.
Dia meraih kacamata yang terletak di sisi ranjang. Mengenakannya lantas melihat ke arah kami lagi. Perlahan kerutan di keningnya memudar. Mata sayunya tampak melebar ketika menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Kiss for Marriage
ChickLitPernikahan adalah sesuatu yang sakral. Ikatan sehidup semati sepasang anak manusia yang saling mencintai. Namun, bagaimana jadinya jika pernikahan harus dilakukan hanya karena sebuah ciuman? Elisyana Mega Putri bertemu Abyan Bagaskara pada sebuah si...