[28]

63.4K 4.6K 198
                                    

Semula aku mengira bahwa keputusan Mas Bian menitipkanku ke rumah Papa adalah keputusan terbaik, nyatanya tidak. Ia menginginkan aku merasa lebih rileks di sini, agar lebih mudah merenungi kesalahanku. Pada akhirnya itu memang terjadi. Aku menyesali semua yang ku lakukan, termasuk bagian tidak jujur kepadanya.

Kalau ada kesempatan mengulang waktu dan memperbaiki semua masalah, dengan senang hati akan ku lakukan.

Sayangnya, ekspetasi dan realita itu mudah sekali berlawanan, berkebalikan, dan tidak mendukung satu sama lain. Semakin berlama-lama di rumah justru membuatku semakin stres. Belum lagi perlakuan Papa yang dingin kepadaku. Beberapa kali Papa kedapatan mengabaikan eksistensiku, mungkin karena dia kecewa padaku. Aku tidak menyalahkan Papa. Papa berhak kecewa, karena aku juga kecewa pada diriku sendiri.

Tidak jauh berbeda dengan Papa, Mas Rey pun menunjukkan kekecewaan yang sama. Mas Rey jelas tidak bersimpati kepadaku, karena pada dasarnya dia juga mantan korban sebuah perselingkuhan. Dan apa yang ku lakukan tidak jauh berbeda dengan sebuah perselingkuhan baginya. Satu-satunya yang membedakan Papa dengan Mas Rey adalah sikap mereka. Kalau Papa memilih mendiamkanku, Mas Rey sebaliknya. Menyindirku terus-menerus hingga beberapa kali ditegur oleh Mama.

"Sini sarapan, Lis," ajak Mama yang kini tengah mengisi piring Papa dengan nasi goreng buatannya. Tanpa menjawab, aku pun segera menempati kursi di sebelah Mas Rey.

"Mau makan apa?" tanya Mama setelah melayani Papa. "Roti atau nasi goreng?"

"Nasi goreng aja, Ma."

Setelah mengisi piringku dengan nasi goreng buatan Mama, kami menikmati sarapan dengan tenang. Terlalu tenang hingga hanya diisi dengan detak jam dan suara sendok yang beradu dengan piring. Ini sudah sering terjadi, setidaknya selama tiga hari diriku berada di rumah. Awalnya aku merasa risih, tetapi lama-lama terbiasa juga. Aku menjadikannya sebagai hukuman atas apa yang ku lakukan beberapa waktu terakhir ini.

"Lis, kamu udah coba hubungi Bian lagi?" tanya Mama memecah keheningan yang melingkupi suasana sarapan kami. Mendengar pertanyaan Mama, secara otomatis kepalaku mendongak. Sempat aku mencuri pandang ke arah Papa dan Mas Rey, tetapi keduanya terlihat tidak peduli.

"Belum."

"Coba kamu hubungi lagi. Siapa tahu emosinya Bian udah mereda dan kalian bisa bicara baik-baik lagi," saran Mama yang ku balas dengan anggukan kepala.

Aku memang sudah merencanakannya. Selama tiga hari ini aku sudah merenungi kesalahanku. Aku bersalah, tidak akan lagi aku membela diri. Akan tetapi, yang namanya kesalahan bisa diperbaiki. Maka dari itu, aku berencana menemui Mas Bian dalam waktu dekat. Aku akan meminta maaf. Kalau masih belum diterima, maka akan ku lakukan terus-menerus.

Harus ada usaha keras untuk memperbaiki hubungan rumah tangga kami. Dan akulah yang harus mulai memperbaikinya.

"Berdoa, Lis. Semoga nggak diusir sama Bian," celetuk Mas Rey. Segera saja dihadiahi tatapan tajam oleh Mama. Mungkin di rumah ini yang terlihat paling membelaku adalah Mama. Bukan dalam artian membenarkan perbuatanku, melainkan tidak menyetujui bagaimana cara diriku diperlakukan.

"Jangan dengerin Mas kamu, Lis." Aku mengangguk menyetujui ucapan Mama. Lagi pula aku sudah terbiasa dengan sindiran Mas Rey. Sudah kebal.

"Papa berangkat dulu, Ma ... Rey ...." Pandangan Papa dijatuhkan kepadaku. Namun, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun padaku. Ia memilih segera beranjak, mengecup singkat pipi Mama, dan menghilang dari pandanganku.

Ini sudah terjadi untuk kesekian kalinya. Dan rasanya sakit ketika menyadari bahwa Papa masih mengabaikanku.

Sesuai yang disarankan Mama, aku berniat menemui Mas Bian hari ini. Sebenarnya, aku berencana mengunjungi kantornya. Datang ke sana sebgai kejutan. Kalau hubungan kami sedang baik-baik saja mungkin akan menjadi kejutan yang menyenangkan. Pasalnya, hubungan kami sedang tidak baik. Masih beruntung jika nanti tidak diusir oleh Mas Bian.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang