[4]

100K 7.9K 316
                                    

"Bisa-bisanya kamu nggak ngabarin orang rumah sama sekali kalau nginep di tempat Nilam?!"

Suara Mas Rey memekik keras hingga aku harus menjauhkan ponsel dari daun telinga. Beberapa orang yang berada di lift menoleh ke arahku. Tampaknya mereka cukup terganggu dengan suara Mas Rey yang samar terdengar oleh mereka. Aku meringis sebagai permintaan maaf. Lain kali aku harus ingat untuk mengecilkan volume panggilan agar tidak mengganggu yang lain.

"Maaf, Mas. Lupa," ujarku beralasan.

"Lupa gundul-mu!" Aku yakin sekali jika saat ini Mas Rey sudah berada di luar rumah. Jika tidak, dia tidak mungkin berani mengumpatku seperti itu. Bukannya puas mengomeliku, justru nanti Mas Rey yang diomeli oleh kedua orang tuaku.

"Untung aja si Nilam ngabari kalau kamu ada di tempatnya. Kalau nggak, bisa-bisa Mas disuruh Mama keliling kota cuma buat nyari kamu."

Aku kembali meringis. Ada sesal yang menghampiri saat mengetahui bahwa semua anggota keluarga mengkhawatirkanku. Bukan hanya kedua orang tuaku, tetapi juga kakak lelakiku satu-satunya—Mas Rey. Menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarga—bungsu lagi—membuat semua orang posesif terhadapku. Mau pergi ke mana harus izin dulu, mau melakukan apapun harus lapor, wajar tapi lama-lama risih. Aku sudah berusia 21 tahun, seharusnya sudah diberi kepercayaan lebih. Toh, selama ini aku belum pernah melakukan tindakan aneh-aneh.

"Ya udah, pokoknya nanti harus pulang. Kalau mau nginep di tempat Nilam sekalipun harus pulang dulu. Kalau perlu nanti Mas yang anter. Atau kamu mau sekalian Mas jemput pulang dari magang?"

"Nggak, Mas. Nggak usah. Entar Elis pulang, kok. Janji." Mas Rey tidak berusaha menanggapi laranganku untuk menjemput. Mungkin merasa aneh dengan penolakanku. Aku yang biasanya akan senang hati diantar-jemput oleh kakakku satu-satunya itu. Namun, sekarang berbeda. Aku harus menjauhkan Mas Rey dari peluang bertemu dengan Pak Bian. Takutnya, Pak Bian akan nekat membicarakan soal permintaannya untuk menikahiku di depan Mas Rey.

Bukannya aku terlalu percaya diri, tetapi antisipasi itu sangat diperlukan, bukan? Pak Bian saja dengan mudah menjadikan Reka—putranya—sebagai senjata untuk memaksaku menikahinya. Masa membicarakan pernikahan dengan kakakku tidak berani?

"Ya udah, Mas. Elis mau kerja. Elis tutup, yah," ujarku bersamaan dengan bunyi Ting, tanda bahwa lift yang kunaiki sudah mencapai lantai tujuanku. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alai—"

Sebelum Mas Rey menyelesaikan balasan salam, aku sudah mengakhiri panggilan kami. Sudah dipastikan kalau saat ini kakakku yang paling tampan itu (karena satu-satunya) tengah mengeluarkan sumpah serapahnya kepadaku. Melanjutkan omelannya meski kami tidak berhadapan sekarang ini. Biarlah Mas Rey puas mengeluarkan kekesalannya. Toh, aku juga tidak akan mendengar dan tidak peduli. Nanti juga sikap tidak sopanku akan dimaafkan dengan mudah. Mana bisa Mas Rey marah terlalu lama kepada adik tercintanya ini?

Aku memasukkan ponsel seiring melangkah meninggalkan lift. Senyum paling manis dan ramah kuumbar ke beberapa karyawan-karyawati yang telah tiba lebih dulu. Ada yang merespon sapaanku dengan baik, ada juga yang tidak. Tiap orang berbeda dan aku sudah terbiasa menghadapinya. Hanya saja kelihatannya yang merespon sapaanku dengan tidak baik semakin bertambah jumlahnya. Mungkin efek gosip mengenai aku—Pak Bian—dan putranya.

Soal Pak Bian, tampaknya lelaki berusia 33 tahun itu panjang umur sekali. Baru saja aku memikirkannya, dan saat ini lelaki itu sudah berada di hadapanku. Pak Bian tengah berdiri dengan tubuh disandarkan di meja kerjaku. Menjejalkan kedua telapak tangan ke saku celana dengan pandangan terarah pada lantai yang dipijakinya. Lelaki itu masih betah menundukkan kepala, sampai suara langkahku mengalihkan perhatiannya.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang