[5]

95.3K 7.6K 89
                                    

"Yang ngantar Elis pulang semalam siapa?"

Pertanyaan yang baru saja dilayangkan oleh Mama berhasil membuat sesendok nasi goreng mengambang begitu saja di depan mulutku yang terbuka lebar. Secara otomatis bibir atas dan bawahku terkatup sempurna, sedang sesendok nasi goreng sudah ku letakkan kembali di atas piring. Bukannya membalas tatapan Mama yang penasaran, aku justru terfokus pada ekspresi Papa dan Mas Rey saat ini. Keduanya tampak tenang, sok tidak peduli. Namun, melihat keduanya sama-sama mengeratkan rahang, ku rasa mereka ikut menanti jawabanku.

"Bukan siapa-siapa. Cuma tukang ojek," jawabku asal.

Tidak mungkin aku mengatakan kalau yang mengantarku semalam adalah Pak Bian—bosku. Karena pasti pertanyaan akan terus berlanjut mengenai alasan lelaki itu mengantarku pulang ke rumah. Dan aku tidak mau mengambil resiko jika nanti kelepasan mengatakan bahwa duda beranak satu itu pernah melamarku. Bisa-bisa Papa dan Mas Rey kena serangan jantung, berbeda dengan Mama yang mungkin akan merayakan hal ini.

"Tukang ojek? Naik mobil?"

Kembali sesendok nasi goreng mengambang di udara. Ku pikir pembicaraan ini akan selesai, mengingat Mama sudah berada di kamar untuk tidur sewaktu aku pulang. Bagaimana bisa dia tahu kalau aku di antar mobil kalau dirinya tidur?

"Mama kemarin bangun, ke toilet. Nggak sengaja dengar ada suara mobil berhenti di depan rumah, jadi coba Mama intip. Eh, ternyata kamu keluar dari mobil." Mama mencoba menjelaskan mengenai apa yang terjadi semalam. "Hayo ngaku, itu siapa?"

Aku menelan ludah susah payah. Sembari memainkan sendok, ku coba untuk memikirkan jawaban yang pas untuk pertanyaan Mama. Sesekali ku pandangi raut muka Papa dan Mas Rey yang lebih tegang daripada yang tadi. Keduanya bahkan sudang menghentikan aktivitas mereka sebelum ini. Memilih berfokus padaku yang sedang menyiapkan jawaban terbaik atas pertanyaan Mama.

"Kok nggak dijawab pertanyaan Mama, Lis?" Bukan Mama, melainkan Mas Rey yang bertanya. "Kamu dianter pulang siapa?"

Ku tarik napas dalam-dalam. Tidak lupa melafalkan basmalah agar lebih tenang meloloskan jawabanku. "Itu teman." Itu merupakan jawaban teraman yang mampu ku berikan. "Teman di tempat magang."

"Karyawan perusahaan tempat kamu magang atau sesama anak magang juga? Laki-laki atau perempuan?"

Bibir bagian bawah terus-menerus kubasahi. Mengurangi rasa gugup menghadapi pertanyaan demi pertanyaan yang terus terlontar. Dan kali ini berasal dari Papa. "Hmm ... itu—"

"Kalian ini kenapa, sih? Nanyanya kaya polisi ngintrogasi penjahat aja. Kasihan Elisnya." Sungguh rasa terima kasih ku haturkan pada ibunda tercintaku. Karena intrupsinya, aku berhasil lolos dari beragam pertanyaan yang mungkin menguasai benak Papa maupun Mas Rey.

"Pantesan Mas tawarin jemput kemarin nggak mau. Ternyata diantar teman."

"Apaan sih, Rey. Adik kamu ada gebetan kok sensi banget, sih?"

"Bukan sensi, Mamaku yang paling cantik," sahut Mas Rey dengan kekesalan yang ditahan. Tidak mungkin dia menunjukkan rasa kesal terhadap Mama. Mas Rey masih takut kualat dan dosa. "Ini tuh khawatir namanya. Apalagi si Elis udah pernah punya pengalaman buruk sama si Kevan dulu itu. Wajar kalau Rey sama Pa—"

"Reyza!"

Suara Mas Rey berhenti begitu saja, pertanda bahwa kakakku itu menyadari bahwa dia sudah bicara terlalu banyak setelah mendapat teguran dari Papa. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Papa, Mama, bahkan Mas Rey saat ini karena aku tengah menunduk saat nama Kevan—mantan pacarku—disebut untuk yang pertama kali. Suasana hening yang tiba-tiba menguasai atmosfer meja makan mengindikasikan bahwa mereka khawatir dengan kebungkamanku. Sedang Mas Rey sendiri ku yakini dia cukup menyesal karena kembali mengungkit Kevan setelah sekian lama.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang