[21]

74.1K 5K 92
                                    

"Pagi, cantik!"

Benda lembab menempel di pipiku setelah Mas Bian mengucapkan salam kebesarannya. Ini memang kebiasaan Mas Bian, menyapaku saat diriku tengah membantu Mama dan Bik Inah menyiapkan sarapan. Biasanya dia akan mengecup pipiku dan memelukku dari belakang, seperti yang dia lakukan sekarang.

"Kelakuan kamu lho, Bi. Kayak pengantin baru melulu," komentar Mama Anita sembari menggelengkan kepala.

Mas Bian menyandarkan dagunya di bahuku. Aku yakin saat ini senyum manisnya tengah merekah. "Kan emang baru nikah 5 bulan, Ma."

"Jadi kalau udah lewat 5 bulan nggak bakal begini lagi?" tanyaku membuat Mas Bian sempat melonggarkan dekapannya.

Lelaki itu dengan sigap memutar tubuhku hingga berhadapan dengannya. Dia menatapku lembut dengan senyum yang pastinya tidak pernah pudar semenjak tadi. "Tenang aja, sayang. Aku nggak bakal pernah berubah kok, meski kita udah nikah bertahun-tahun."

"Terus aja istrinya digombalin," cibir Mama Anita yang dibalas dengan kekehan renyah Mas Bian.

"Bilang aja Mama iri. Makanya cari suami lagi, gih. Biar bisa digombalin kaya Elis."

"Sembarangan kalau ngomong, yah Bi! Anaknya siapa, sih?"

"Anaknya Mama."

Mama Anita mendengus saat mendengar jawaban Mas Bian yang begitu santai. Membuat kekehan Mas Bian kembali terdengar. Lelakiku itu sudah melepaskanku, beralih mendekati Mamanya. Berganti memeluk tubuh Mama Anita dari samping. "Sayang Mama."

Aku tersenyum melihat interaksi ibu dan anak yang satu ini. Aku tidak pernah bosan meski sudah menyaksikan sikap manja Mas Bian kepada Mama Anita selama 5 bulan belakangan ini. Setiap harinya aku dibuat takjub dengan kelakuan Mas Bian.

Mas Bian boleh terlihat sangar di depan bawahannya, tetapi tidak di rumah. Dia akan menjadi ayah dan suami yang penyayang sekaligus anak yang manja. Mungkin efek statusnya sebagai anak tunggal, di mana semua maunya selalu diprioritaskan.

Akan tetapi, Mas Bian merasakan kekurangan menjadi anak tunggal. Dia kesepian, membuatnya selalu bermain dengan Karina dan Kirana sejak masih kecil. Karena itulah Mas Bian bercita-cita menginginkan anak yang banyak. Kalau bisa, inginnya dia lebih dari 5. Katanya biar ramai.

Enak di Mas Bian, tidak enak untukku. Memang dia pikir hamil gampang?

"Mama ...."

Aku merasakan seseorang menarik bajuku. Senyumku semakin mengembang saat menemukan Reka di sana. "Jagoan Mama udah bangun."

Aku mengecup pipi gembul Reka, dibalas olehnya dengan mengecup balik pipiku. "Pagi Mamanya Reka yang cantik."

Kekehanku terdengar saat mendengar ucapan Reka. Menggemaskan. Tidak sadar aku sudah kembali mengecupi pipinya, membuat kedua matanya menyipit karena tertawa.

"Pinter nggombal yah kamu, Ka!" Mas Bian mendengus. "Diajarin siapa sih?"

Mata bulat Reka menatap Mas Bian. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali. "Gombal? Bukannya gombal itu buat lap-lap Bik Inah, yah Pa?"

"Astaga!" Mas Bian kehabisan akal untuk menjawab pertanyaan Reka. "Didikan Mama gini deh!"

"Enak aja!" Mama Anita memukul lengan Mas Bian cukup keras. Terbukti dengan pekikan yang Mas Bian layangkan setelahnya. "Kamu nggak sadar kalau hasil didikan Mama juga?"

"Ampun, Ma. Ampun!"

Beginilah keadaan setiap paginya di kediaman keluarga Bagaskara. Hangat dan akrab. Membuatku selalu merasa nyaman sejak pertama tinggal di sini. Aku tidak pernah kekurangan apapun. Baik secara lahir maupun batin aku merasa bahagia.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang