"Malam minggu nanti Papa atau Mama ada acara nggak?"
Pertanyaanku sukses mengakhiri suasana hening yang tercipta sejak sarapan berlangsung. Tidak ada lagi suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring, semua perhatian beralih hanya kepadaku. Terlihat sekali bahwa Papa dan Mama menatapku penasaran. Mungkin setelah sekian lama, ini adalah kali pertama aku kembali menanyakan soal acara keduanya di malam minggu nanti.
Berbeda dengan kedua orang tuaku, Mas Rey justru menatapku melalui kedua matanya yang tajam. Rahang kakakku itu mengeras. Melalui pandangannya dia memberi kode agar segera mengurungkan niatku. Namun, aku tidak peduli. Aku masih keras kepala seperti di mobil semalam. Mau Mas Rey menghalangiku seperti apa juga, aku akan tetap maju untuk memberi kesempatan kepada Mas Bian untuk bertemu kedua orang tuaku.
"Nggak ada, sih," jawab Papa setelah beberapa saat mengingat jadwalnya. "Kenapa?"
"Ada yang mau bertamu," jawabku ragu-ragu. Sendok dan garpu sedikit aku mainkan, sengaja untuk mengurangi rasa gugup. Terlebih setelah melihat reaksi tidak biasa yang ditunjukkan oleh Papa dan Mama. Kalau Mas Rey jangan ditanya, dia jelas sudah melotot sejak aku menjawab pertanyaan Papa.
"Siapa yang mau bertamu? Teman kamu?" tanya Papa penuh selidik. Sendok dan garpunya sudah diletakkan di piring, sedang pandangannya lekat diarahkan kepadaku.
Aku menarik napas sebentar. Aku memang sudah berniat mengatakan hal ini. Sudah ku persiapkan sejak tiba di rumah tadi. Akan tetapi, aku bingung harus mulai menjelaskan dari mana. "I-itu ...." Aku menyempatkan diri mengedarkan pandangan. Menatap Mas Rey, lalu Mama, berakhir ke Papa kembali. "Nggak bisa dibilang teman juga, sih. Yang jelas dia nawarin Elis buat jadi istrinya. Jadi, pengen ketemu sama Papa dan Mama."
Senyap. Tidak ada suara atau respon apapun setelah aku selesai menjelaskan siapa yang akan bertamu. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar, memecah kesunyian yang kami ciptakan. Aku menelan ludah susah payah saat melihat perubahan ekspresi Papa. Beliau memang tampak tenang, tetapi aku tahu kalau ini cukup mengejutkannya. Lain halnya dengan Papa, Mama justru tersenyum, begitu lebar mungkin sanggup untuk membuat bibirnya sobek. Namun, kelihatannya mau sobek juga Mama tidak peduli. Yang dipedulikannya hanyalah bahwa anak gadisnya ini akhirnya punya calon. Pemikiran yang aneh menurutku, tapi itulah Mama.
"Dia tahu kalau kamu belum lulus kuliah?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. Menghela napas sebentar, aku mulai mendeskripsikan sosok si lelaki yang melamarku. "Dia tahu, karena dia memang bos di tempat Elis magang."
"Woooh!" Mama yang sejak tadi menahan diri akhirnya bersuara. lensanya tampak berbinar menatapku. Mungkin hanya Mama satu-satunya yang sedang berbahagia di sini. "Jadi, kamu dilamar sama bos? Ih, Elis keren. Ini baru anaknya Mama."
"Ma ...." Papa tidak bersuara keras untuk memperingatkan Mama. Masih lembut ku rasa, tetapi cukup untuk membuat Mama bungkam. Hanya saja itu sama sekali tidak merusak kebahagiaan Mama. Terbukti dengan senyum yang tidak luntur dari wajahya.
"Lis, kamu mungkin tahu jawaban Papa. Kalau kamu belum lulus kuliah, maka ...."
"Ini belum lamaran resmi, Pa," sela-ku sebelum Papa menyelesaikan penolakannya. Tidak sopan, tetapi harus aku lakukan. "Cuma mau dikenalkan aja dulu. Biar Papa sama Mama menilai keseriusannya ke Elis kayak gimana. Cuma dia aja yang ke sini. Sendirian."
"Yakin sendiri?" Mas Rey menyeletuk dengan tidak sopannya. Pandangannya seolah mencibirku. "Nggak bakal yang ngekorin ikut, gitu?"
"Nggak ada," jawabku cepat. Membuat kening Papa mengerut sebentar, penasaran dengan maksud sindiran Mas Rey serta jawaban cepatku. Namun, pandangan penasarannya itu tidak berlangsung lama. Karena selanjutnya pandangan Papa lebih melunak dari yang sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Kiss for Marriage
ChickLitPernikahan adalah sesuatu yang sakral. Ikatan sehidup semati sepasang anak manusia yang saling mencintai. Namun, bagaimana jadinya jika pernikahan harus dilakukan hanya karena sebuah ciuman? Elisyana Mega Putri bertemu Abyan Bagaskara pada sebuah si...