[18]

76.3K 5.3K 225
                                    

My Abyan: Kangen

Satu pesan singkat yang dikirimkan Mas Bian sukses membuat kedua sudut bibirku tertarik. Meski hanya berupa satu kata, tetapi bagiku memiliki berjuta makna. Seperti dirinya, aku pun merindukan Mas Bian.

Sejak seminggu yang lalu, aku resmi menjalani masa pingit. Alhasil, kami tidak dapat bertemu. Hanya sekadar berkirim pesan jika rindu satu sama lain.

Me: Sama... kangen juga... 😘

My Abyan: Coba ciumnya gak sekedar emot :(

Me: Sabar... kan besok kita ketemu di akad 😉

"Apa fungsinya dipingit kalau masih SMS-an gitu?"

Sindiran tersebut berasal dari mulut Mas Rey yang baru saja memasuki kamarku. Tanpa permisi dia sudah berbaring di sebelahku sembari memejamkan mata. Membuatku sedikit terganggu karena kehadirannya. Baru saja aku hendak menelepon Mas Bian, karena ada Mas Rey ku urungkan niatku.

"Kan yang penting nggak ketemu, nggak tatap muka," ujarku membalas sindirannya.

"Sama aja nggak fungsi adekku ...."

Aku mencebik kesal. Baru saja hendak membalas perkataan Mas Rey, dering ponsel sudah mengalihkan perhatianku. Melihat nama yang tertera di ponsel membuat mood berantakanku akibat Mas Rey membaik. Mas Bian menelepon di saat yang tepat.

"Halo?"

"Mama!"

Bukan suara Mas Bian, melainkan suara Reka yang membalas sapaanku. Sedikit kecewa sebetulnya. Akan tetapi, karena Reka yang menelepon, aku berusaha menekan rasa kecewaku. Lagi pula aku tidak hanya merindukan Mas Bian, aku juga merindukan Reka yang tidak ku temui selama masa pingit berlangsung.

"Reka kangen Mama." Aku terkekeh mendengar ungkapan rindu Reka. Suaranya dimanja-manjakan, membuatku gemas.

"Mama juga kangen sama Reka."

"Bilang ke Mama kalau Papa lebih kangen sama dia!"

Suara Mas Bian samar terdengar. Membuatku menggulum bibir guna menahan senyum. Namun, usahaku untuk menahan senyum gagal. Semua karena sahutan Reka yang membalas perintah Papanya. "Kok lebih kangen Papa? Banyakan Reka kangennya!"

"Terserah kamulah, Ka. Sak karepmu*."

Aku tidak lagi bisa menahan cengiran ketika Mas Bian mulai mengeluarkan bahasa ibunya. Kedua orang tua Mas Bian memang asli Jawa, jadi wajar saja jika terkadang dia mengucapkan kalimat-kalimat dalam Bahasa Jawa. Untung kedua orang tuaku sempat mengajariku Bahasa Jawa semasa kecil, jadi aku cukup mengerti beberapa kata sederhana yang sering diucapkan dalam sebuah obrolan.

"Papa ngomong apa sih? Ngomongnya kaya Bang Tole?"

"Tole siapa? Kamu kan tole*."

"Kok jadi Reka? Bang Tole itu tukang sayur yang suka dibeli Bik Inah."

"Astaga, Ka! Masa Papa disamain sama tukang sayur!"

Kali ini bukan hanya cengiran, tapi tawa sudah ku semburkan karena mendengar perdebatan antara ayah dan anak ini. Mas Rey saja sampai membuka mata gara-gara mendengar tawaku. Keningnya sempat mengerut karena merasa terganggu, tetapi aku tidak peduli. Siapa suruh dia malah tiduran di kamarku, di kasurku.

"Ya udah, Reka. Bilang Papa kalau Mama juga kangen," ujarku berusaha menengahi perdebatan di antara mereka sebelum semakin berkepanjangan.

"Banyakan mana sama kangen ke Rekanya, Ma?"

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang