[8]

86.8K 6.6K 180
                                    

"Jadi, lo udah cerita semua ke Mas Rey, Lis?"

Aku menjawab pertanyaan Nilam dengan anggukan singkat, tidak peduli jika dia tidak melihat anggukanku. Tubuh ku rebahkan begitu saja di atas kasur. Sembari menatap langit-langit aku kembali mendengar suaranya dari seberang telepon. "Terus apa kata Mas Rey?"

"Dia cuma bilang—" kupindahkan ponsel ke daun telinga sebelah kiri, karena yang kanan sudah cukup panas, "—bakal antar jemput gue sampai selesai magang. Dia nggak bilang macam-macam, cuma gue tahu kalau dia nggak bakal ngebiarin adik satu-satunya didekati bahkan dinikahi sama duda."

Terdengar deru napas Nilam yang dihela pelan, ikut merasakan frustasi yang melandaku. "Gue ngerti perasaan Mas Rey, sih. Cuma kok agak nggak adil buat bos lo itu ya, Lis. Kesannya salah banget dia jadi duda. Nggak boleh gitu jatuh cinta lagi, membangun bahtera rumah tangga lagi?"

Aku terdiam, merenungkan perkataan Nilam. Ada benarnya juga perkataan salah seorang sahabatku ini. Tidak memberi kesempatan terlebih dulu kepada Mas Bian mengenai keseriusannya merupakan tindakan yang tidak adil. Bukan salah Mas Bian kalau dirinya duda beranak satu. Jika bisa, dia pasti akan memilih menjadi lelaki lajang yang dengan bebas bisa memilih pendamping hidup tanpa suatu keraguan apapun jua.

"Ya udah deh, Lis. Kalau itu keputusannya, mau gimana lagi. Gue yakin Mas Rey berbuat demikian juga demi kebaikan lo."

Sekali lagi aku mengangguk untuk menanggapi perkataan Nilam. Setelah acara curhat yang cukup panjang, kami mengakhiri obrolan dengan saling memberi semangat masing-masing pihak. Setelah panggilan benar-benar berakhir, aku menghela napas lega. Beban yang beberapa waktu lalu menguasai benakku sedikit berkurang berkat bercerita banyak dengan Nilam. Meski demikian masih banyak hal yang mengganjal, seperti bagaimana aku harus bersikap ketika bertemu Pak Bian di kantor hari Senin nanti.

Kembali helaan napas ku loloskan begitu panjang. Mataku mulai terpejam, mencoba untuk melupakan semua beban dengan membawanya ke alam mimpi. Lagipula mengenai apa yang harus ku lakukan saat bertemu Mas Bian Senin nanti dapat dipikirkan lagi. Aku masih punya banyak waktu, setidaknya sampai dua hari di akhir pekan berakhir.


O0O


Bukan suara alarm jam weker, melainkan bunyi dering ponsel yang membangunkanku pagi ini. Dengan kedua mata masih terpejam, aku mencoba mencari keberadaan ponselku. Seingatku, ponsel diletakkan di sebelah bantal, tetapi tidak kunjung ditemukan.

Aku menggeram kesal saat suara dering ponsel semakin mengganggu. Bersyukur, tidak butuh waktu yang terlalu lama untuk menemukan ponsel yang entah sejak kapan sudah berada di balik bantal. Untung tidak rusak karena ku tiduri.


"Halo?"


"Mama!"


Keningku mengerut saat mendengar suara khas anak-anak dari ujung telepon. Kesadaranku masih belum terkumpul. Perlu waktu lebih bagi diriku untuk melihat waktu yang tertera pada jam weker yang ku letakkan di nakas, juga melihat siapa yang meneleponku pagi-pagi begini. Ini masih pukul 5 pagi. Hanya orang kurang kerjaan yang meneleponku pagi-pagi buta di akhir pekan seperti ini.


"Pa, Mama kayaknya tidur lagi, deh. Nggak ada suaranya."

"Masa, sih? Sini hp-nya kasih ke Papa."


Kedua kelopak mataku mengerjap pelan saat mendengar suara yang lebih dewasa menanggapi suara ringan khas anak-anak di seberang sana. Ada suara anak kecil, juga ada suara orang dewasa. Hanya terdapat satu kemungkinan, yang meneleponku adalah Reka—putra Mas Bian.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang