[29]

68.7K 4.7K 152
                                    

"Lis, kamu nggak apa-apa aku tinggal?" tanya Naura sembari memulas bibirnya dengan lipgloss hingga menciptakan warna pink alami.

"Nggak masalah," jawabku sembari mengulas senyum lebar kepadanya.

Naura terlihat tidak terlalu mempercayai jawabanku. Pandangannya cukup lama dijatuhkan kepadaku. Memastikan bahwa sepupunya ini cukup aman ditinggalkan sendirian di kamar kosnya yang berukuran 3x3 meter. "Oke. Kalau ada apa-apa kamu bilang sama Mbak Diah yang kos di sebelah aja. Aku yakin dia nggak bakal ke mana-mana karena masih galau sama tesisnya yang belum kelar."

"Sip."

Naura berpamitan beberapa saat kemudian. Ia tidak lupa membawa 4 bendel skripsi yang belum dijilid. Rencananya hari ini dia akan mendaftar ujian skripsi. Jika tidak ada halangan, setidaknya dia bisa melaksanakan ujian minggu depan.

Sepeninggal Naura, aku kembali membaringkan diri di kasur ekstra tempat Naura tidur semalam. Sebenarnya aku sudah mengajukan diri untuk tidur di bawah, di kasur ekstra yang Naura siapkan jika salah satu anggota keluarga atau temannya menginap. Namun, dia menolak karena kondisiku. Yah, Naura tidak akan tega membiarkan ibu yang sedang hamil muda tidur di bawah.

Pukul 01.00 dini hari aku tiba di Solo. Naura yang memang sudah mengetahui perihal kedatanganku melalui chat yang ku kirimkan datang menjemput bersama salah seorang temannya ke terminal. Ia terkejut saat menemukan kondisiku yang jauh dari kata baik-baik saja. Bayangkan saja, aku tidak membawa apapun selain sebuah tas tangan. Terlebih melihat mata bengkakku bekas menangis sepanjang perjalanan Jakarta-Solo.

Masih untung Naura mengenaliku. Karena bisa saja dia malah mengira bahwa aku adalah zombie yang mengaku sebagai sepupunya.

Begitu tiba di kos Naura, dia langsung mempersilakanku untuk tidur. Ia tidak menanyakan alasanku mengapa kabur ke tempatnya, walau sebenarnya ingin. Naura hanya merasa kalau aku membutuhkan istirahat setelah melakukan perjalanan. Jadi, Naura memberikan itu. Toh, dia sendiri sedang sibuk menyiapkan persyaratan untuk mendaftar ujian skripsi.

Aku mencoba mengubah posisi tidur, menyamping hingga menghadap ponsel yang sengaja ku letakkan di sebelah bantal. Layar ponselku gelap, sengaja ku matikan agar tidak ada yang menghubungiku. Aku butuh waktu sendiri sekarang ini. Butuh ketenangan, juga banyak waktu untuk berpikir. Apalagi dengan kejadian yang ku lihat pagi kemarin.

Pagi kemarin, saat aku hendak mengantarkan bekal untuk Mas Bian dan Reka, aku menyaksikan satu adegan yang menyakiti hatiku. Di sana tidak ada Mama, tidak ada Reka. Hanya Mas Bian dan Kirana. Dan mereka sedang berpelukan.

Ku tegaskan ... BERPELUKAN.

Mungkin pelukan di antara Mas Bian dan Kirana tidak berarti apa-apa. Selama ini Mas Bian menganggap Kirana seperti adik sendiri, meski perempuan itu menganggapnya lebih. Akan tetapi, dengan hubungan antara diriku dan Mas Bian yang merenggang menyebabkan berbagai pikiran buruk menghampiriku. Terlebih setelah mendengar apa yang dikatakan Kirana dalam pelukan Mas Bian saat itu.

"Aku melakukan ini karena mencintai kamu, Mas. Aku mencintaimu," katanya dengan suara nyaris terisak. Padahal orang yang paling ingin menangis saat itu adalah diriku.

Pendengaranku masih normal untuk mendengar pernyataan cinta Kirana. Penglihatanku juga masih baik untuk menyaksikan bagaimana bibir Kirana menyatu dengan bibir Mas Bian. Semua terjadi begitu cepat dan aku tidak mampu memikirkan hal lain lagi selain pergi dari sana. Tidak hanya itu, aku bahkan tidak kembali ke rumah. Memilih kabur ke Solo, ke tempat Naura.

Mataku kembali memanas saat mengingat kejadian kemarin. Aku sudah berusaha melupakannya dengan menutup mata dan tidur. Nyatanya setiap kali aku melakukannya, bayangan itu kembali hadir. Bolak-balik menghantuiku. Bolak-balik mencubit bagian hatiku, hingga berbekas nyeri yang berkepanjangan di sana.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang