[12]

71.5K 6.3K 217
                                    


Tidak ada yang dapat ku pikirkan lagi sekarang ini. Hanya banyangan bagaimana Papa menyambutku dan Mas Bian beserta Reka yang memenuhi otakku. Bahkan aku sampai mengabaikan pertanyaan Nilam saat mengambil tas berisi pakainku tadi. Dia minta dikenalkan dengan Mas Bian saja tidak ku pedulikan.

Aku hanya sedang kebingungan. Bagaimana menghadapi Papa nanti?

Mas Bian berpesan kepadaku untuk menghubungi Mama terlebih dulu. Menanyakan perkiraan Papa dan Mas Rey tiba di rumah, karena Mas Bian berniat menemui mereka ketika mengantarku pulang nanti. Entah dia merencanakan apa juga aku tidak tahu. Yang bisa aku lakukan saat ini hanya mempercayainya.

"Kamu gugup?" tanya Mas Bian ketika mobilnya berhenti mengikuti lampu lalu lintas. Sebelah tangannya sudah menggenggam telapak tanganku. Mengusapnya perlahan, menghantarkan rasa nyaman yang ku butuhkan.

"Bukan gugup. Takut."

"Wajar sih takut," gumamnya sembari mengangguk-anggukkan kepala. "Salah kamu pakai kabur."

"Kok jadi nyalahin aku?"

Mas Bian terkekeh sembari mengusap puncak kepalaku dengan gemas. Satu perlakuan yang membuatku kesal sekaligus tersipu. Entah mana yang lebih mendominasi, aku rasa tersipu. Pandangan Mas Bian beralih ke belakang, di mana Reka tengah asyik sendiri dengan game di tab-nya.

"Reka jangan kebanyakan main game di mobil. Nanti pusing," Mas Bian memperingatkan putra semata wayangnya. Diiringi dengusan oleh Reka setelahnya. Namun, anak itu menurut saja. Meletakkan tab di sebelahnya lantas memusatkan perhatian ke jalanan yang kami lintasi. "Kok, kaya bukan jalan pulang, Pa?" tanyanya dengan kening mengerut.

"Kita mau ke rumah Mama Elis dulu. Ketemu Papa sama Mama-nya Mama Elis," jawab Mas Bian sembari kembali melajukan mobil karena lampu lalu lintas telah berubah warna.

"Mama juga punya Papa sama Mama sendiri?" Kening Reka masih mengerut, masih memikirkan penjelasan Mas Bian yang menurut pandangannya sedikit membingungkan. "Kaya Oma sama Nenek, yah Pa?"

"Nah, itu Reka tahu. Pinter anak Papa."

Reka mengangguk paham. Senyumnya mereka saat melingkarkan lengannya di leherku dari belakang. Membuatku mau tidak mau tersenyum karena tingkah menggemaskannya. Reka yang seperti ini mana bisa tidak disayang?

"Papa Mama-nya Mama baik nggak? Galak nggak kaya Opanya Fian?"

"Siapa Fian?" tanyaku sembari mengernyit. "Temen Tk-nya Reka. Yang suka digangguin Reka. Makanya Reka hobi banget diomelin sama Opanya Fian," Mas Bian menerangkan.

"Itu sih Fiannya yang tukang ngadu," keluh Reka tidak mau terima.

"Kamu juga suka ngadu ke Papa kalau digangguin Dion sama teman-teman kamu yang lain."

"Papa kok gitu!"

Aku terkekeh mendengarkan obrolan ayah dan anak ini. Dari yang ku lihat, Mas Bian dekat dengan Reka. Anak ini bahkan tidak terkesan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Padahal tahu sendiri bagaimana kesibukan Mas Bian. Aku rasa menjadi orang tua tunggal membuat Mas Bian lebih bertanggungjawab, bukan terpuruk. Andai saja keluargaku bisa melihat sisi dirinya yang seperti ini.

"Entar Reka panggil Papa Mamanya Mama Elis gimana?" tanya Reka kemudian, berhasil membuyarkan lamunanku.

Cukup lama aku berpikir. Tidak mungkin aku menyuruh Reka memanggil Papa dan Mama dengan sebutan Pak dan Bu. Atau Tante-Om—mereka terlalu tua untuk dipanggil Reka seperti itu. "Eyang?" Aku ragu-ragu mengucapkannya.

"Eyang kakung* buat Papanya Mama. Eyang cantik buat Mamanya Mama." Bukan tanpa alasan aku meminta Reka memanggil Papa dan Mama dengan sebutan seperti itu. Terutama Mama, aku jelas ingat bagaimana Mama bersikeras meminta Mas Rey untuk mencari calon istri. Dia tidak sabar menimang cucu. Ingin dipanggil Eyang cantik.

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang