[15]

82.4K 6.2K 105
                                    

"Ciee ... yang udah lulus!"

Suara cempreng Aya, Vika, dan Nilam menyambut ketika aku keluar dari ruang sidang. Dengan senyum mengembang aku berhambur memeluk mereka bertiga. Aku tidak mampu mengatakan apapun. Bahkan yang namanya ucapan terima kasih atas dukungan mereka terasa sulit ku loloskan. Aku terlalu terharu, terlalu bahagia.

Setelah menempuh jalan yang panjang dan tidak mudah untuk dilalui akhirnya aku berhasil menyelesaikan skripsiku dan mempertanggungjawabkannya melalui suatu sidang akhir. Aku memang belum memperoleh gelar secara resmi, tetapi setidaknya aku sudah dinyatakan lulus. Lulus dengan revisi. Tidak masalah. Toh, semua manusia ada salahnya. Hanya dewanya skripsi yang bisa mendapatkan keputusan lulus tanpa revisi.

"Makasih yah kalian udah mau datang," aku akhirnya mampu mengucapkan rasa terima kasih setelah acara saling memeluk dan memekik heboh. "Serius, kehadiran kalian nyemangatin gue banget."

"Biasa aja kali, Lis," Vika menyahut sembari mengibaskan telapak tangannya di depan wajah. "Sebulan yang lalu juga kita kan datang ke sidang skripsinya Aya. Kita kan sepakat datang ke sidang skripsi satu sama lain. Yah, walau nggak bisa masuk, kita masih bisa ngedoain dari luar."

"Tetap aja kan, makasih banget!" Aku kembali mendekap ketiganya. Menepuk punggung yang mampu ku jangkau, hingga pergerakanku memelan ketika menangkap satu sosok yang tidak asing berdiri dengan jarak satu meter di depanku.


"Mas Bian?"


Dekapanku mengendur. Tanpa memedulikan tatapan serta kernyitan penasaran dari teman-temanku, aku bergegas menghampiri Mas Bian yang tengah tersenyum manis ke arahku. Ini bukan mimpi, kan? Namun, bagaimana bisa Mas Bian ke sini? Bukankah dia bilang seharian ini sibuk?

"Kejutan!" ucapnya setelah aku berdiri tepat di hadapannya.

Senyum Mas Bian melebar, hingga aku mampu menikmati lesung pipi samarnya yang selalu saja membuatku terpikat ingin menyentuhnya. Aku menatapnya lekat untuk beberapa saat, masih tidak mempercayai eksistensinya di hadapanku. Barulah saat dia menyodorkan sebuket mawar merah aku meyakinkan diri bahwa Mas Bian yang di hadapanku itu nyata, bukan ilusi.

"Selamat, Elis!" Dia mengatakan dengan singkat, tetapi tetap terasa tulus.

Aku menerima bunga pemberiannya. Mencium aroma mawarnya perlahan hingga menyunggingkan satu senyum malu-malu. Pipiku memanas. Semoga saja rona yang mungkin timbul di kedua belah pipiku tidak membuat wajahku tampak aneh.

"Makasih," balasku tersenyum kepadanya. "Katanya nggak bisa ke sini? Sibuk?"

"Sibuk nyari bunga sih iya."

Aku mendengus mendengar jawabannya. Sialnya, lelaki itu malah terkekeh puas sembari mengusap puncak kepalaku hingga membuat tatanan rambutku sedikit berantakan. "Jadi, kamu kalah taruhan, nih," katanya kemudian sembari membantu merapikan rambutku yang dibuatnya berantakan tadi.

"Kata siapa?" tukasku tidak terima. "Tantangannya kan dua bulan. Ini dalam dua bulan aku juga udah sidang skripsi."

"Dua bulan lebih sepuluh hari."

"Ya Allah, Mas," aku menggeram tertahan. Ini lelaki perhitungan sekali. "Sepuluh hari doangan, Mas. Kan ujian skripsi juga pakai ngantri."

"Tetap saja, kan?" Dia menyeringai licik. Selalu seperti ini, selalu memaksa menang. "Pokoknya nanti kamu harus ikut aku!"

"Ngapain?"

"Yah, nanti juga aku kasih tahu," dia mengedipkan sebelah matanya. Membuatku menahan diri untuk tidak memutar bola mata. "Sekarang kamu urusin itu teman-teman kamu. Kasihan melongo begitu nglihatin aku."

A Kiss for MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang