Chapter 8

9.4K 942 44
                                    

Aku membanting diri ke tempat tidur. Sudah hampir satu minggu aku tidak tidur di rumah. Kamarku terasa dingin dengan ketenangan yang selalu kurindukan. Sesekali mataku terpejam di antara bayang-bayang kecemasan dengan hilangnya Felix yang bagai ditelan bumi. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan bersama kekhawatiran yang mendalam.

Sampai saat ini aku belum berhasil menemukannya. Ditambah, aku merasa ada yang sedikit berbeda dengan Axcel. Sejak ia mengatakan bahwa Felix tersesat di suatu tempat, ia lebih banyak melamun dan tertidur seolah-olah ia ingin memasuki dimensi lain dengan pikirannya. Bukan hanya itu, pola semanggi yang kulihat di meja Axcel ternyata ada di mana-mana. Terakhir kulihat pola itu terukir di lemari Axcel padahal sebelumnya tidak ada.

Aku dikejutkan oleh pintu jendela yang diketuk. Ketukan itu semakin keras seperti hendak memecahkan kaca. Aku mebuka tirai perlahan dan sosok pria jangkung sudah berdiri di hadapanku. Wajahnya pucat dan datar, juga terlihat-berantakan dengan rambut acak-acakan. Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa pemuda itu adalah-Felix.

Aku membuka jendela dan Felix melompat ke dalam dengan lincah dan langsung meringkuk di tempat tidurku. Aku sedikit bingung dan heran. Gumpalan pertanyaan mulai muncul satu persatu dalam benakku.

"Felix, apa yang terjadi?" Aku menghampiri Felix yang tertelungkup.

"Ririn." Felix menarik tanganku dan mendekapku erat. "Aku sangat khawatir padamu."

Keningku berkerut seketika lalu melepas pelukannya dan menatap Felix. "Justru aku yang mengkhawatirkanmu. Kau kemana saja? Semua orang mengkhawatirkanmu. Mereka berpikir kalau kau kabur karena tidak mau dijodohkan denganku," semburku panjang.

Felix menunduk dan berpikir sejenak. "Aku sudah melihat semua."

"Melihat apa?"

"Gadis yang bernama Karin itu ... kau bukan?"

"Apa?" Aku mengangkat wajah Felix agar kami saling menatap. "Bicara apa kau barusan?"

Felix tersenyum tipis. "Pantas saja. Saat bertemu denganmu, aku merasa seperti pernah mengenalmu."

Keningku semakin mengerut. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

Felix merogoh saku celana. Ia menarik sebuah paku sepanjang jari tengah berwarna perak. Batang paku itu terdapat ukiran klasik berwarna emas yang membuatnya terlihat elegan.

"Paku?" tanyaku tanpa melepas tatapanku pada benda itu.

"Si Pangeran memberikannya padaku."

"Tapi ... untuk apa?"

Bukannya menjawab, Felix malah menggenggam telapak tanganku erat. Ia menatapnya lama sambil menarik napas panjang.

"Tenang saja, ini tidak akan sakit." Felix mulai menancapkan paku itu ke urat nadiku, tapi tidak ada darah menetes, juga tak merasakan sakit.

Paku itu menancap semakin dalam hingga hanya bagian kepalanya yang masih di permukaan kulitku. Aku hanya memperhatikan tanganku dengan bingung. Paku itu panjang, seharusnya ujung paku mencuat dan menembus pergelangan tanganku, tapi ... ini tidak sama sekali.

Beberapa detik setelah itu, paku mulai mengeluarkan sinar, membuat tanganku bercahaya kemerahan karena darah di balik kulitku.

"Sentuh paku itu," gumam Felix berbisik.

Aku menyentuhnya perlahan dengan ujung jari telunjuk. Sebuah sengatan membuatku tersentak dan aku merasa tubuhku terlempar jauh melawan angin. Kuberanikan untuk membuka mata dan aku sudah terbaring di sebuah hutan gelap. Kulihat banyak kunang-kunang yang terbang berlalu lalang. Hanya cahaya temaram serta pepohonan yang kelabu di mataku.

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang