Aku melambaikan tangan pada salah satu pelanggan yang berusia sekitar sembilan tahun. Aku tersenyum saat melihat ekspresi wajahnya yang tampak puas dengan es krim kreasiku. Ya, ini adalah hari pertamaku bekerja di sebuah kedai es krim milik Tuan Frederick. Pelayan di sini biasa memanggilnya Tuan Erick, termasuk aku.
Felix yang menunjukkan tempat ini padaku.
L Dia bilang, daripada aku harus bekerja di bar Bibi Eliyana lebih baik aku bekerja di sini sebagai pelayan kedai. Meskipun dengan gaji yang tak seberapa, setidaknya aku aman bekerja di sini. Selain itu, aku bisa menggunakan bakatku untuk mengreasikan berbagai jenis es krim.Hmm … sebenarnya dari rasa es krimnya saja sudah membuat pelanggan selalu berdatangan, tapi kata Tuan Erick semua itu tidak akan sempurna jika tidak dilengkapi oleh hiasan yang menarik.
Aku memasukkan uang tip dari pelanggan ke toples lalu meletakannya di laci. Kulihat jam menunjukan pukul tiga sore, yang berarti jam kerjaku selesai setengah jam lagi. Aku melirik ke arah gadis di sebelahku yang tampak sedang sibuk membereskan mejanya yang blepotan.
Axcel Achazia, dia partner kerjaku yang sangat pendiam. Sepanjang hari, kami tidak mengobrol sama sekali, kecuali saat aku memperkenalkan diri saat tadi pagi. Itu saja dia hanya bilang ‘panggil aku Axcel’. Setelah itu, aku tidak berani menanyakan apa pun padanya.
“Sudah tidak ada pelanggan lagi. Kau boleh pulang duluan.” Axcel menyendok satu sendok besar es krim rasa mint ke dalam gelas dan memakannya tanpa topping sedikitpun.
Aku menatap Axcel sesaat dan butuh waktu untuk menyadari bahwa dia lah yang tadi berbicara. “Kau berbicara padaku?”
“Tidak. Aku berbicara pada es yang sedang kumakan,” jawabnya datar.
Aku merasa kaku seketika. Dia dingin sekali, sama seperti es mint yang ia jejalkan ke mulutnya. “Hmm … aku menunggu jam pulangku meski masih beberapa menit lagi.”
Axcel mengangkat bahu. “Terserah.” Ia kembali menjejalkan satu suap es krim dan menelannya bulat-bulat.
Aku terduduk di sebelahnya sambil menatapnya sesaat. Jujur saja, sikap dinginnya membuatku tidak nyaman, itu akan membuatku salah tingkah dan terlihat konyol. Aku memutar otak untuk mengawali pembicaraan. Semoga saja aku bisa meluluhkannya.
Sialnya, Axcel beranjak saat aku ingin mengatakan sesuatu. Tentu saja itu membuatku semakin kaku dan terpaksa mengurungkan niat. Apa ia tidak mau berbicara padaku?
Axcel menyendok es krim rasa Nut Butter lalu menyodorkannya padaku.
“Untukmu.” Kemudian kembali terduduk di kursi. “Aku tau kau menyukainya.”
Aku menerimanya dengan canggung. “Dari mana kau tau?”
“Instingku ternyata berfungsi padamu.”
Alisku terangkat sebelah. “Insting?”
“Haruskah kujelaskan semua padamu, Ririn Allyson?” Axcel menatapku tajam untuk sesaat. “Makanlah dan kau tidak perlu berterimakasih padaku.”
Aku mulai menjejalkan es krim kedalam mulut. “Terima kasih untuk es krimnya.”
“Sudah kubilang itu tidak perlu.”
“Axcel—“
“Apa?”
“Apanya apa?”
“Kau tadi memanggilku bukan?” Axcel melirik sekilas. ”Jangan memanggilku tanpa keperluan. Itu sangat mengganggu.”
Aku berpikir sejenak. Ya, aku tadi memang memanggil, tapi sebenarnya memang tanpa tujuan alias basa-basi saja. “Hmm … sudah berapa lama kau bekerja di sini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Loizh III : Reinkarnasi
FantasySangat disarankan untuk membaca book 1 ( Loizh ) & book 2 ( Loizh II : Arey ) agar tidak menimbulkan kebingungan dalam seri ini.. ^_^ Ririn Allyson, selama hidupnya selalu dihantui bayangan seorang gadis yang sangat mirip dengannya. Ketika ia menco...