"Mamiiii!" teriak Ruby. ia segera mengempaskan dirinya di sofa sebelah Mamanya.
"Kenapa sayang? gimana tadi sama kelasnya? udah pindah ke sepuluh dua kan?" tanya Rada.
"Udah sih. tapi aku nggak mau duduk sendiri. aneh aja gitu, Mi. besok pindahin tempat duduk aku ya?" pinta Ruby.
"Bereslah. nanti tinggal calling-calling aja ke Bu Tini. besoknya kamu nggak duduk sendirian lagi deh. mau duduk sama siapa? sebutin namanya? atau kamu belum tau semua nama temen-temen kamu di kelas. yaudah nggak pa-pa. tapi intinya kamu mau duduk sebangku sama temen perempuan kan?" Rada mengambil ponselnya yang tergeletak di meja, lalu memencet aplikasi kontak. ia men-scroll layar ke bawah mencari nama kontak yang akan ia hubungi detik ini juga.
"Aku nggak mau duduk sama temen perempuan, Mi. aku mau duduk sama doi terbaru aku," balas Ruby.
Refleks, Rada menaruh ponselnya di paha. lalu menatap anak semata wayangnya yang kini sudah remaja.
"Doi baru? jadi ini alasannya kamu minta pindah ke sepuluh dua? wah, anak Mami udah nggak polos lagi nih. cakep nggak anaknya?" goda Rada.
Pipi Ruby berubah warna. ia mengangguk malu-malu sambil menunduk. ia tak bisa menatap wajah siapa saja ketika dirinya sedang malu.
Rada tak tahan untuk mencolek dagu anaknya itu.
"Udah deh jangan nunduk terus. tatap Mami! kamu belum jawab pertanyaan Mami. cakep nggak anaknya?" tanya Rada. ia mengangkat dagu anaknya dengan kedua tangan supaya ia bisamk bertatapan dengan Ruby.
"Cakep dong, Mi. selera aku tuh tinggi. nggak mungkin aku naksir sama cowok jelek. euw nggak level," Ruby mengibas-ibaskan tangan kanannya.
Rada mencubit pipi Ruby gemas, "Oke-oke. Mami hubungi Bu Tini sekarang juga."
"Bentar dulu, Mi. satu lagi, pasangin tempat duduk aku sama si Erick sampe aku naik kelas sebelas. kalau perlu jadiin aku sama Erick sekelas lagi di kelas sebelas dan dua belas.silakan Mami boleh telpon Bu Tini."
"Banyak banget sih maunya. iya deh. Mami dukung kamu buat PDKT sama si siapa tuh namanya. Erick? ah nggak penting siapa namanya. sekarang kamu ganti baju, gih, bau apek, habis itu makan siang," Rada mengambil ponsel yang tergeletak mati di pahanya.
"Ih, hidung Mami kenapa tuh? di kamus aku tuh nggak ada tulisan aku bau apek. yang ad mah aku bau wangi sepanjang hari," dengus Ruby. "Yaudah, aku ke kamar dulu ya, Mi."
Setelah Ruby menghilang dari pandangan Rada, ia langsung memencet lambang telpon hijau yang artinya memanggil.
Tuutt .... tuuuuttt .... tuuttt ...
Tak butuh waktu lama suara dari seberang terdengar.
"Halo, Bu Tini! ini saya Rada, ibunya Ruby sekaligus penyumbang terbesar sekolah National High."
"...."
"Emm, saya mau minta mulai besok sampai kenaikan kelas, tolong pasangkan tempat duduk Ruby dengan anak bernama Erick. bisakan, Bu?"
"...."
"Kenapa tidak bisa? pokoknya harus bisa. kalau tidak, saya akan stopkan biaya sumbangan saya. asal ibu tau sekolah National High setiap tahun bisa merenovasi bangunan itu karena uang dari saya. National High mewah karena saya. jadi apa susahnya memasangkan duduk anak saya dengan Erick. itu hal gampang. kalau ibu masih tidak bisa menerima keinginan saya, saya akan berhenti menyumbang," ancam Rada.
"...."
Rada tersenyum, ia melanjutkan bicaranya, "Oke. terimakasih. saya tidak akan berhenti menyumbang. kalau begitu saya akan menambah uang sumbangan lebih besar lagi karena Bu Tini bisa menerima keinginan saya. oke, dari dua puluh juta dua bulan saya tambah lagi menjadi enam puluh juta setiap lima bulan sekali. deal?"
![](https://img.wattpad.com/cover/82903273-288-k440467.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersamamu
Teen FictionCinta tidak selamanya mencintai seseorang yang sempurna, tapi mencintai dengan cara yang sempurna. Cinta tak selalu memandang rupa, tapi memandang hati. Begitulah yang dirasakan Ariela Manopo dan Erick Yunanda