14

2.1K 104 3
                                    

Dua minggu telah berlalu. sudah dua minggu pula Ariel duduk sendiri dan Erick duduk bersama Ruby. entah sengaja atau tidak sudah berkali-kali Ruby mendekatkan wajahnya kepada wajah Erick. dengan bertopang dagu Ruby melakukannya. dan Ariel akui dirinya cemburu ketika melihat adegan tersebut. alih-alih Ariel menjadi tidak konsen dengan pelajaran. ia lebih fokus memperhatikan gerak-gerik Ruby yang semakin membuat hatinya panas terbakar api. entah api dari mana. tapi Ariel masih sedikit lega karena Erick masih dekat dengan dirinya. setiap hari juga Erick selalu mengajaknya pergi ke kantin. makan berhadap-hadapan. hanya berdua.

Tapi Erick nggak diem-diem tertarik sama Ruby kan? nggak kan? kaliamat itulah yang sering melintas di otaknya tiap kali Ruby berdekat-dekat dengan Erick. tapi Erick membalasnya dengan sedikit bergeser duduk ke pinggir. syukurlah.

"Rick, pulang sekolah ke Cafe bareng yuk! nggak jauh daru sekolah. banyak varian makanan dan minuman yang enak banget. di jamin lo bakal ketagihan sama makanan, minuman di Cafe itu," Ruby berkata sambil bertopang dagu. seperti biasanya. wajahnya juga sedikit ia dekatkan kepada wajah sang lawan bicara.

"Gue nggak mau dan nggak peduli sama penjelasan lo tentang Cafe itu. mau makanannya enak gue tetep nggak mau," respons Erick ketus. ia tak menatap sang lawan bicara. ia merespons tetapi kedua bola matanya terfokus ke arah papan tulis. tangan kanannya sibuk mencatat.

"Gue tau lo suka nongkrong di Cafe dan gue tau hati lo bertentangan sama mulut lo. nggak usah gitu deh," balas Ruby.

"Terserah lo deh mau ngomong apa tapi sejujurnya gue nggak peduli. Cafe emang tempat kesukaan gue buat nongkrong tapi kalau bareng lo lebih baik gue nggak usah ke Cafe," ia meletakkan pulpennya ketika berbicara seperti itu. ia juga menghadap sang lawan bicara tapi setelah itu ia kembali menulis lagi.

Ruby mendengus dalam hati, susah banget sih narik perhatian dia. udah dua minggu gue duduk di sini tapi dia masih aja cuek. apa kurangnya gue sih kalau di bandingin sama Ariel? jelas gue menang banyaklah. cantik juga cantikan gue, body juga bagusan gue. kenapa yang Erick pacarin bukan gue? gue harus cari cara supaya mereka berdua putus! oke otak ... berpikirlah.

"Sial, gue salah tulis," tangan Erick merogoh tempat pensil hitamnya mencari-cari label. "Yah, nggak bawa."

Erick melirik ke meja Ruby. sebotol Tipe-X dengan botol warna merah tergeletak menganggur. ia hendak meminjamnya, tapi urung. ia menimang-nimang apakah dirinya harus pinjam atau tidak.

Cih, males banget pinjem ke dia. mending di coret aja si yang salah tulis. apa susahnya? batin Erick.

Ruby menengok ketika mendengar teman sebangkunya mencoret buku tulis.

"Kenapa nggak pake Tipe-X? kalau di urek-urek gitu kan jadi jelek buku tulis lo. nggak indah. ntar lo males baca," komentar Ruby.

"Nggak bawa Tipe-X," jawab Erick cuek.

"Tinggal pinjem ke gue," balas Ruby.

"Males."

"Lo kok gitu banget sama cewek? seharusnya lo jangan bersikap gitu di depan cewek cantik," Ruby memainkan rambut coklatnya yang di semir.

"Diem bisa nggak sih? brisik banget. belajar gue jadi keganggu. materinya jadi nggak masuk ke otak gara-gara mulut cerwet lo. udah banyak omong, jelek lagi," cela Erick.

Ruby terdiam. baru kali ini ia di katakan jelek oleh teman cowoknya. sebelum-sebelumnya ia tidak pernah. sebaliknya malah. ia selalu di puji-puji cantiknya oleh kaum adam. sayangnya tidak ada satupun dari mereka yang Ruby kagumi. menurutnya wajah cowok-cowok itu biasa saja. di sini? sang pujaan hatinya malah mengejeknya 'jelek'. tapi Ruby anggap itu sebagai candaan saja. soalnya dia yakin seratus persen bahwa dirinya cantik, tajir pula. mungkin Erick belum berani mengakui secara langsung bahwa Ruby cantik tapi hanya di akui di dalam hati. begitu pikirnya.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang