Semuanya mendadak canggung. Liam tidak tahu harus bagaimana, mau ngomong apa, otaknya nge-blank, di dalam hati, dia berharap agar Ameera atau Zahra segera kembali ke sini dan memecah keheningan. Zayn menunduk, menggenggam selimut rumah sakitnya kuat-kuat, pipinya merah.
Liam duduk sekitar dua meter dari ranjang, menatap vas bunga di atas nakas kecil dengan tatapan kosong. Yang terdengar hanya desahan nafas, beberapa kali suara kilat menyahuti, suara hentakan kaki Liam, dan suara batuk Zayn.
Dan petir menyambar untuk yang kesekian kalinya. Hujan turun, sangat lebat. Liam menggosok-gosokkan kedua tangan dengan cepat, kedinginan. Dilihatnya Zayn, dia tetap menunduk tapi juga menggigil sedikit.
Liam merutuki diri, jaketnya ketinggalan di rumah--rumahnya--dan bagaimana caranya agar dia bisa pulang? Ini sudah jam lima lebih seperempat. Bisa-bisa telinganya bengkak karena dijewer Ara nanti.
Dia melirik Zayn sekali lagi, ternyata cowok itu sudah tidur. Liam mendesah lega dan beranjak dari kursi, hendak keluar ruangan jika saja Zayn tidak mengerang kesakitan. Liam rasanya mau face palm, dia lupa kalau secara gak langsung Ameera menyuruhnya untuk menjaga Zayn.
"Um...?" hanya itu yang dapat Liam katakan. Liam menarik kursinya agak mendekat ke ranjang dan duduk, menatap wajah Zayn yang bersimbah keringat dingin. Kemudian, Zayn membuka mata, mata coklat itu berlinang air.
Entah kenapa, Liam jadi mau nangis juga. Zayn terlihat sangat rapuh dan terluka. Wajahnya pucat pasi, Zayn menyingkap selimut, menampilkan perutnya, yang basah oleh darah.
"Astaga," gumam Liam, terkejut--bukan, syok malahan. Dia segera menyeret langkah keluar dan menabrak seorang dokter yang menangani Zayn tadi. Liam buru-buru menjelaskan semuanya dan dokter itu segera masuk ke dalam ruangan.
Dokter yang diketahui Liam bernama Dokter Rian itu menyuruhnya keluar. Liam duduk di kursi tunggu, mengusap wajahnya frustasi. Pikirannya kalut, entah kenapa, dia cemas.
"Keluarga Zayn Malik?" Dokter Rian menanyakan pertanyaan yang sama seperti saat dia keluar dari ruangan Zayn beberapa jam lalu. Liam berdiri.
"Saya... temannya," ucap Liam lirih, tentu saja berbohong.
"Saya sangat menyesal. Sebenarnya pasien mendapat satu luka tusukan ringan di perutnya, dan pasien begitu beruntung bisa selamat. Saya terpaksa berbohong pada kakak pasien karena permintaan pasien sendiri. Saya sangat menyesal. Dan, Anda bisa mengunjungi teman Anda," Dokter Rian pergi, menghilang di salah satu pintu yang berada di ujung koridor.
Liam merangsek masuk, duduk di kursinya. Tangannya mengelus rambut hitam Zayn, terasa lembut, harum, wangi yang familier... apel. "Zayn?"
Yang dipanggil membuka mata, lalu tersenyum tipis. "Makasih," katanya perlahan, nyaris berbisik.
"Nama gue Liam, salam kenal ya," dia tetap mengelus rambut Zayn, memijat kepala cowok itu sampai Zayn benar-benar merasa rileks. Liam ingat, dulu neneknya pernah melakukan hal itu saat Liam masih kecil. Zayn memejamkan mata.
"Lo pasti laper. Lo mau gue beliin makan? Bakso? Mi ayam? Bubur?" tanya Liam, memosisikan tangan kanan di atas telapak tangan Zayn yang panas.
Zayn menggeleng. "Ngerepotin," bisiknya.
"Ya gak lah. Bentar, ya, gue beliin makan dulu. Gue janji gak bakalan lama, suwer deh. Kalo ada apa-apa, teriak, oke?" Liam tersenyum, dan berjalan keluar. Untung saja hujan sudah agak mereda. Saat sampai di luar rumah sakit, Liam mencium salah satu aroma yang paling dia suka di bumi; bau tanah basah.
Tak jauh dari tempatnya berpijak sekarang, Liam melihat ada warung mi ayam yang pembelinya cukup ramai. Liam langsung keinget sama ucapan Niall, kalau ada warung terus banyak yang beli, berarti enak.
"Mi ayam, dua porsi, dibungkus," kata Liam kepada si penjual.
Ponsel Liam berbunyi. Panggilan dari Wewe Gombel.
"Ya, Kak?"
"Kamu dimana? Ini udah lewat jam enam dan kamu belum pulang! Liam, pulang sekarang!"
"Liam gak bisa pulang sekarang, Kak. Liam ada urusan di rumah sakit."
"Hah? Siapa yang sakit?"
"Adiknya Mbak Zahra."
"Ya udah, jangan pulang kemaleman. Jangan lupa makan, jangan lupa minum. Adiknya Zahra dijagain yang bener. Itu anak orang. Cepet pulang."
"Iya, Kak. Ai lop yu."
"Lop yu tu, Dek."
Sambungan terputus, pas banget pesanan Liam sudah jadi. Liam menyerahkan uang ribuan dan berjalan masuk lagi ke rumah sakit. Dia menuangkan seporsi mi ayam hangat ke dalam mangkuk yang disediakan di dalam nakas, mengaduknya menggunakan sendok kecil.
"Zayn..."
"Ya?"
"Makan dulu, buka mulut lo," Liam duduk di kursi, tangan kirinya membawa mangkuk dan tangan satunya menggenggam sesendok penuh mi ayam. Zayn mengerang, berusaha menegakkan punggung, dan ketika berhasil, dia menyunggingkan seulas senyum.
"Makasih," bisik Zayn, mengulang kata yang sama. Liam tersenyum miris.
"Sama-sama. Kakak lo sendiri yang nyuruh gue buat ngejagain lo," dan sedetik kemudian, pipi Liam memanas.
Liam menyuapkan sesendok mi ayam hangat ke dalam mulut Zayn. "Enak?"
Zayn mengangguk malu.
Sebenarnya, Liam ingin bertanya soal luka lebam di tubuh Zayn, dan juga luka tusukan itu. Tapi melihat kondisi Zayn yang sekarat seperti ini membuat Liam mengurungkan niat. Dia tidak mau memperburuk suasana hanya karena pertanyaan soal cowok bernama Luke dan Ashton itu.
Liam terus menyuapi Zayn, hingga separuh porsi bersih. "Udah," kata Zayn pelan. Dia menunduk malu.
"Ini masih banyak. Lo yakin cuma makan segini doang?" tanya Liam sambil mengusap bibir atas Zayn yang terkena kuah. Zayn mengangguk dan tersenyum, malu-malu anjing... eh, kucing.
"Makasih," Zayn bergumam, mendunduk. Liam gemas. Zayn bahkan tidak menatap matanya.
"Kakak lo habis ini dateng kayaknya. Lo... gak papa kan gue tinggal?" tanya Liam hati-hati.
Zayn mengangguk, lalu kembali memosisikan tubuhnya untuk berbaring. Liam menaruh mangkuk di atas nakas, jaga-jaga siapa tau Zayn laper lagi. "Gue pergi dulu."
Dan Liam tidak mendengar Zayn berkata apa-apa lagi. Liam ingin menonjok diri sendiri tepat di muka, sadar bahwa sepeda motor telah dibawa pergi oleh Zahra. Taksi? Mana ada taksi lewat jam segini. Ojek? Udah pada tidur, lah! Jalan kaki? Kan masih hujan.
Tidak ada opsi lain, terpaksa Liam setuju dengan pemikiran terakhir, yaitu jalan kaki. Kelihatan bego, memang, Liam berjalan menyusuri trotoar, melewati tempat di mana dia menendang kaleng dan mendarat di dahi Zahra, pos ronda, dan akhirnya sampai di rumah nomor 24.
"Kak Ara, I'm hoooooooooooome!" teriak Liam nyaring. Lampu ruang tamu dimatikan, Liam menekan saklar, sepi. Niall sudah pasti tidur, Geoff (ayah Liam) pasti masih di kantor, tapi Ara... Cewek galak itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Biasanya Ara akan muncul di sofa, membaca majalah, dan ending-nya Liam digampar pake majalah yang dibacanya.
"Kak Liam?" kepala Niall muncul dari balik pintu kamar Ara. Liam berjalan ke arahnya. "Kamu kenapa dah, Dek? Kak Ara mana?"
"K-kak Ara... dia... fuck, she's drunk," jawab Niall, menyumpah.
"Ah, jangan bercanda, Niall! Kak Ara kan paling anti sama alkohol!" Liam berseru marah. Ara selalu menasihatinya agar tidak terjerumus ke hal-hal begituan. Sekarang? Ara sendiri mabuk, ketiduran di kasurnya, wajahnya berkeringat dan bau alkohol.
"Kenapa dia bisa begini?" tanya Liam kepada Niall, yang berdiri di sudut pintu sambil menggigiti kuku.
"Gak tau, Kak, dia pulang terus ngomong-ngomong sendiri. Kayak... Ashton... Ai lop yu so mach, jangan tinggalin gue, plis, gue gak mau putus... Begitu deh, Kak, serem."
"Ashton?"
"Pacarnya Kak Ara. Kak Liam pasti gak tau, soalnya Kak Ara cuma bilang ke Niall doang."

KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel Without Wings //ziam\\
FanfictionCase 1: Liam Payne, 19 tahun, skripsi gak kelar-kelar, playboy cap golok, begajulan, anak dugem, depresi kuliah, broken home, suka Matematika, PPKN, dan seabrek pelajaran anak SD lainnya, gak pernah serius sama suatu hubungan. Solusi:: Zayn Malik Ca...