four ; Zahra & Maliks

444 68 18
                                    

"Duh, gue harus pake baju apaan nih? Ah bomat, gue cuma disuruh tanggung jawab doang. Alamatnya... blok 2 nomor 12. Njir, gue aja nggak tau blok dua itu di mana. Semoga gak jauh deh. Oke, hape? Udah. Powerbank? Udah. Surat wasiat, jaga-jaga kalo gue digebukin terus mati... waduh, di mana--oke, udah. Gue siap," Liam ngedumel sendiri gak jelas di depan kaca.

Jam dua lebih lima menit. Zahra tidak akan menunggu. Liam memakai sepatu kets kesayangannya, berjalan ke ruang tamu, melihat Ara sedang berbicara dengan cewek yang tidak seharusnya berada di sini.

"Dek," suara Ara terdengar berat, dan Liam tahu cewek itu mati-matian menahan rasa kesal yang entah kenapa. "Duduk."

Liam nurut. Dia duduk di samping kakaknya, menatap Zahra Malik yang tersenyum manis-palsu ke arah mereka berdua. Tapi terakhir kali Liam melihatnya, Zahra pakai kacamata, celana jeans belel, dan sweter hitam. Sekarang berbeda seratus delapan puluh derajat; atasan tanpa lengan biru muda dan rok selutut warna merah salmon. Lengkap dengan gelang dan aksesoris unyu lain.

"Mbak Zahra kok... di sini? Kok bisa tau rumah saya?" tanya Liam.

"Saya juga nggak tau sebelumnya kalo rumah kita ternyata satu blok, hadep-hadepan pula," Zahra berkata tenang, tersenyum sarkas.

"O-oh, hehehe, maaf, maaf, saya--"

"Udah, stop Dek," potong Ara marah. "Pertama, minta maaf dulu sama Zahra."

"Dia udah minta maaf, Arabel. Sekarang, saya mau langsung ke intinya. Liam, makasih karena udah mau tanggung jawab, dan... itu, kayaknya ada... surat wasiat?" Zahra menunjuk kertas yang jatuh dari tas Liam dan terbuka lebar, bunyinya:

Wasiat Liam James Payne:

Untuk kakakku yang bawel, Arabella Samantha Payne

Kak, maafin Liam kalo Liam punya salah sama Kakak. Maafin Liam soalnya dulu Liam sering pake baju Kakak atau bando Kakak diem-diem. Liam bakalan ke rumah Zahra Malik dan pasti bakalan digebukin. Liam punya sesuatu buat Kak Ara-ku tersayang. Kak Ara boleh pake lemari bekas Liam. Emang sih banyak cicaknya. Tapi berguna kok, Kak. Kalo Kakak lagi laper, bakar aja satu.

Untuk adikku yang unyu nan tolol, Niall James Payne:

Adikku tersayang, maafin Kak Liam karena Kakak sering menyiksa kamu secara mental dan fisik. Maafin Kakak karena kemarin Kakak nitipin kamu ke tukang bakso buat jaminan. Kakak bener-bener khilaf. Sebagai wasiatnya, Kakak kasih kamu... apaan ya? Duh, Kakak gak tau. Kamu kayaknya gak dapet apa-apa. Hehe. Peace.

Ps: Niall, kamu boleh pake celana dalem Kakak, kalo kamu mau.

Ttd.

Liam James Payne.

Buru-buru diambilnya surat wasiat itu. Liam nyengir dan kembali menatap wajah Ara. Zahra tersenyum lalu berdeham kecil, memecah keheningan. "Saya gak mau gebukin kamu dan saya gak akan, saya cuma mau kamu buat ikut saya."

"K-ke mana?"

"Ke rumah saya."

"Waduh, Mbak, saya cowok baik-baik, Mbak. Jangan apa-apain saya. Plis," Liam memasang muka paling melas dan tak sadar matanya mulai berlinang air. Oh, dasar bego. Liam gak boleh nangis cuma karena mau diitu sama Zahra.

"Saya baru tau kalo anak jaman sekarang otaknya bisa sejorok itu. Ehm, saya cuma mau kamu datang ke rumah saya dan tuntasin kewajiban kamu. Bisa kan? Arabel, saya pinjam adek kamu dulu. Boleh kan?" Zahra tersenyum kalem ke arah Ara, tapi senyuman itu terlihat sangat dipaksakan. Ara mengangguk lamban.

"Liam... ehm, kamu boleh ikut saya, ayo," Zahra beranjak dari duduk dan menarik pergelangan tangan Liam untuk ikut dengannya. Liam merasa agak canggung. Sementara Zahra hanya diam.

Rumah Zahra Malik sangat sederhana, namun tetap terlihat rapi dan asri. Rumah tingkat dua dicat monoton; putih tulang, dibatasi pagar kayu yang juga dicat putih. Kursi dan meja warna putih, halaman depan dipenuhi bunga anggrek bulan, mawar putih, serta melati. Oke. Keluarga Malik adalah fans fanatik warna putih.

Zahra terlebih dahulu maju dan membuka pintu. Ruang tamunya cukup luas, sangat rapi, dan simetris. Lukisan ditata urut sesuai bentuk bingkainya. Rak buku yang tingginya sejajar, poster-poster film dan grupband terkenal dunia tertata rapi. Liam benar-benar takjub.

"Ikut saya ke gudang, cepat sedikit," kata Zahra. Liam mendelik, tapi dia membuang jauh pemikiran seperti Zahra mau ena-ena sama gue nih, atau keperjakaan gue sebentar lagi ilang.

Gudang keluarga Malik tak jauh beda dengan ruang tamu. Rapi. Sayangnya berdebu. Zahra menyalakan lampu. "Ini tugas kamu. Bersihin gudang rumah saya selama seminggu."

"Mbak? I-ini kan udah rapi, rapi banget malahan," Liam protes.

"Rapi, kamu bilang? Ini udah dua hari gak dibersihkan. Sekarang tugas kamu; bersihin gudang rumah saya. Selama seminggu," tampaknya Zahra tidak menerima penolakan. Salah Liam sendiri, nendang kaleng gak hati-hati.

"L-lima hari aja deh, Mbak. S-saya gak biasa bersihin gudang," Liam kembali memohon.

"Kamu ini keras kepala. Kamu sudah salah, tapi nggak mau tanggung jawab. Apa orang tua kamu atau kakak kamu nggak mengajarkan sopan santun? Heh?" suara Zahra meninggi. Astaga, kenapa Liam selalu salah di mata cewek yang mirip Ara ini?

"Mbak Za?" panggil seorang cewek, muncul di ambang pintu. Dia berpaling ke arah Liam yang pucat pasi. "Lo siapa? Nawarin panci lagi? Kan gue udah bilang, jangan balik lagi!"

"Dek, ini yang Mbak ceritain tadi, dia--"

"Oh, lo yang ngelempar kakak gue pake kaleng bekas, ya? Eh, dengerin gue ya, Cowok Brengsek, lo bikin jidat kakak gue luka dan habis ini dia bakal pergi ke prom night bareng gebetannya. Lo tau apa? Lo tanggung jawab atau gue sikat habis lo sekarang juga!" mata hijau cewek itu berkilat penuh amarah, menunjuk batang hidung Liam dengan telunjuknya.

"A-am-ampun, Mbak! Duh, Mbak, saya nggak sengaja, suer!" kata Liam memelas. Tubuhnya semakin bergetar ketika cewek yang ngaku-ngaku adik dari Zahra Malik itu mengambil kuda-kuda untuk menendang Liam.

"Dek, udah, stop!" lerai Zahra. "Ameera, ini Liam. Dia emang udah ngelempar Mbak pake kaleng. Tapi dia udah janji mau tanggung jawab. Jangan tendang dia, bisa-bisa nanti tulangnya retak."

"Sekarang, lo mau tanggung jawab pake cara apa?" Ameera bertanya pada Liam.

"Bersihin gudang," jawabnya, tapi lebih kedengaran seperti berbisik.

"Jawab yang bener!" seru Ameera sambil menghentakkan kakinya.

"Astaga... Iya Mbak! Saya akan bertanggung jawab membersihkan gudang keluarga Mbak dengan sepenuh hati dan segenap perjuangan saya!" jawab Liam. Duh, mati gue kali ini.

My Angel Without Wings //ziam\\Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang