nine : time for two

407 60 7
                                    

Liam berlari menuju kamar 129. Beberapa kali dia sempat nyasar, ke kamar mandi, gudang, bahkan kamar mayat. Liam buru-buru menekan tombol lift dan pintu bergeser menutup, berguncang sebentar, lalu bergerak ke atas.

Sebenarnya ini masih jam sepuluh pagi, dan jadwal mata kuliah Liam selesai jam dua belas. Liam lagi nggak nafsu lihat muka galak nan nyereminnya Pak Johan hari ini. Udah galak, suka ngasih tugas gak masuk akal, pokoknya Liam benci banget deh.

"Mbak Zahra! Mbak Ameera!" teriak Liam saat sampai di lantai 3. Liam mengabaikan semua tatapan sinis yang dilontarkan oleh orang-orang bahkan dokter yang lewat di koridor. Yang ada dipikirannya adalah figur seorang cowok berwajah manis dan berambut hitam pekat. Zayn.

"Astaga, Liam, jangan teriak-teriak. Di sini ada pasien yang sakit jantung juga," bisik Zahra.

"Tau deh, ini rumah sakit bukan pasar, asal lo tau," Ameera berkata ketus seketus-ketusnya. Tipikal.

"Maaf, Mbak. Zayn gimana? Operasinya lancar, kan? Dia di mana sekarang?" cerocos Liam segera.

"Zayn di dalam, efek obat bius. Tapi makasih loh, udah mau dateng ke sini. Semalem sebelum operasi, Zayn sempet cerita kalo dia pernah disuapin sama cowok cakep," dan pipi Liam memanas karena penuturan Ameera. Tapi Ameera tidak sedikitpun tersenyum.

Beberapa menit kemudian, Dokter Rian keluar dari ruangan dan berkata bahwa Zayn sudah bisa dikunjungi. Zahra yang pertama masuk, kemudian Ameera, yang terakhir Liam. Perban di wajah Zayn sudah dilepas, dia tampak  begitu payah dengan selang infus dipasang di hampir sekujur tubuhnya. Zahra mengelus rambut hitam Zayn.

"Mbak...?"

"Zayn, syukur deh kamu udah sadar," suara Ameera menyiratkan kelegaan, wajah tetap datar tanpa ekspresi.

Zayn tersenyum tipis. Saat matanya menatap Liam, yang sedang tersenyum hangat ke arahnya, semburat merah menjalari pipi lebam Zayn. Liam tersenyum lebih lebar lagi kali ini.

"Kalian udah kenalan, kan?" tanya Ameera. Malu-malu, Liam mengangguk.

"Mbak Zahra, ayo keluar. Biarin mereka berdua ngomong dulu di sini," awalnya Zahra seperti kebingungan, tapi toh mengangguk juga dan memberi Zayn ciuman singkat di dahi, dan pergi meninggalkan ruangan.

"A-apa kabar?" tanya Liam sembari duduk di kursi.

"Nggak pernah sebaik ini," Zayn tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit. Dua taring kecil nongol dari balik bibir atasnya. Hati Liam cenat-cenut gak keruan. (A/N: bayangin aja Zayn; punya gingsul kayak Ameera, pake kacamata kayak Zahra)

"Oh," plis jangan senyum lagi, gue bisa diabetes, atuh, Zayn! Lo tega banget sih sama gue?

"Kamu Liam, kan?" tanya Zayn.

"I-iya, gue Liam. Liam Payne. Gue tetangga baru lo," dia nyengir kuda.

Zayn hanya tersenyum tipis. Hening cukup lama. Liam bertopang dagu, bertumpu pada ujung kasur rumah sakit Zayn. Liam baru sadar kalau malaikat itu benar-benar ada. Dan sekarang, malaikat itu tengah terbaring lemah, infus dipasang di sekujur tubuhnya, wajah lebam, dan tentunya; tanpa sayap.

Mendadak Liam ingat soal pertengkaran kemarin. Mengumpulkan keberanian, menyiapkan mental dan hatinya, dia buka suara, "Pacar lo mana?"

"P-pacar?" suara Zayn bergetar. Air mata menggenang di sekitar pelupuk matanya. "S-sa-saya nggak punya pacar, kok."

"Terus, Luke itu sapa lu? Pacar kan?" Liam kesal setengah mampus, ketika melihat Zayn menunduk dan menggigit bibir.

"S-saya udah putus, kita--kita udah putus. Saya jomblo."

Sebuah senyuman akhirnya terukir di wajah Liam. Senyuman kepuasan. Senyuman penuh kemenangan padahal Liam gak ikut lomba apa-apa. Lega rasanya mendengar bahwa Zayn udah putus sama si Luke gak jelas itu. Meski belum pernah ketemu langsung, pasti cakepan Liam kemana-mana.

"Duh, seru banget sampe kakak sendiri aja dikacangin," Zahra menyela dari belakang Liam.

"Kalian lagi ngomongin soal apa?" Ameera ikutan nimbrung.

"Ngomongin soal pacar," Liam nyengir tanpa dosa, sedangkan wajah Zayn sejak tadi sudah kayak kepiting rebus.

"Lo lagi pedekate sama adek gue? Bagus deh," kata Ameera, yang sukses membuat Liam terbelalak dan hampir jantungan. "Enggak lah Mbak! Ngaco deh," katanya sambil terkekeh kikuk.

"Siapa yang ngaco? Emangnya muka gue kelihatan ngaco gitu?"

Liam menelan ludah, berusaha menutupi kecanggungan, "Enggak. Hehehehe." kemudian ponselnya berdering di saku celananya, dia merasa tidak enak, dan saat tahu kalau yang menelpon itu Niall, pasti ada yang nggak beres.

"Apaan sih, Dek?"

"Kak Ara demam. Sebenernya sih bagus, dia nggak mabuk, tapi badannya panas parah, Kak. Kayaknya Kak Ara sakit."

"Ya kasih paracetamol atau bodrexin atau apa kek gitu. Ada di rak dapur."

"Tadi aja sampe kejang-kejang begitu, Kak. Masa iya dikasih minum paracetamol bisa sembuh kejang-kejangnya? Ayolah, Kak, Niall gak tau harus gimana neh."

"Iya, iya, Kakak otewe," Liam memutuskan sambungan secara sepihak dan meletakkan ponsel putih itu di saku celananya. "Maaf, Mbak, kakak saya mendadak sakit. Saya harus pulang."

"Lo gak mau nemenin adek gue dulu?" tanya Ameera asal-asalan.

Liam ingin menjawab, "saya mau banget demi apa, Mbak. Seratus taun juga gue jabanin. Saya ikhlas." tapi kali ini Ara lebih penting. Entah apa yang terjadi kali ini dengan cewek itu. Dalam hati, dia berharap agar tidak dihadapkan oleh pemandangan Ara, tidur-tiduran dan bau alkohol; mabuk.

My Angel Without Wings //ziam\\Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang