Kubuka mataku saat kurasakan paparan sinar matahari yang hangat menyentuh wajahku. Aku langsung bangkit begitu menyadari jika ini kamar ini begitu asing bagiku. Dan aku baru sadar setelah mencium aroma yang sangat familiar ini. Ini adalah kamar Dave. Suara langkah kaki yang mendekat membuat jantungku ikut berdetak cepat. Aku langsung menarik selimutku dan meremasnya kuat-kuat saat melihat seseorang yang membuka pintu kamarku. Dan genggaman tanganku mulai mengendur begitu melihat siapa yang datang. Dia adalah Dave. Kulihat dia berjalan kearahku sambil membawa nampan yang berisi makanan.
"Selamat pagi," sapanya sambil menurunkan nampan yang dibawanya di meja. Dia tersenyum dan menatapku hangat.
"Pa ... pagi," jawabku lirih berusaha mengalihkan pandanganku ke arah lain. Bahkan sampai sekarang aku masih belum berani menatapnya lama.
"Apa kau masih merasa takut padaku?" tanyanya tiba-tiba membatku langsung menatapnya dan menggeleng dengan cepat. Takut? Bagaimana bisa aku takut pada sikap lembut yang selalu dia berikan?!
"Tidak bisakah kau berhenti menggeleng ataupun menganggukkan kepalamu? Lihat bahkan matemu sendiri berpikir kau takut padanya," cicit Lucy dikepalaku dengan kesal.
"Dia matemu juga, Lucy," jawabku dengan nada jengkel mengingat Lucy yang selalu menyalahkanku.
Tubuhku sedikit menegang saat dia menarikku secara tiba-tiba dalam pelukannya. Ini bukan pertama kalinya dia melakukan hal ini. Tapi tetap saja aku belum terbiasa. Kemudian dia meneggelamkan wajahnya di lekukan leherku, membuatku sedikit terkejut dan hampir memekik namun kutahan kuat-kuat. Aku tak ingin membuatnya merasa tidak nyaman. Aku hanya diam mematung kaku, membiarkan dia menghirup aromaku dan memeluk tubuhku.
"Sia ..." panggilnya setengah berbisik dan aku hanya diam mendengarkan apa yang akan dikatakannya selanjutnya.
"Aku mencintaimu ... sangat ..." bisiknya tepat di telingaku dan bisa kurasakan tubuhku langsung menegang mendengarnya. Jantungku memompa lebih cepat dari biasanya dan kurasa Lucy menari nari di dalam sana.
"Hei jangan diam saja, bodoh! Cepat katakan bahwa kau juga mencintai dia!" teriak Lucy di dalam kepalaku namun aku tetap mempertahankan kebisuanku.
"Jujur, aku tak tahan melihatmu terus seperti ini. Kau selalu membuatku khawatir setiap saat. Aku ingin membuatmu merasa aman dan nyaman saat bersamaku. Tapi, aku bahkan tak mengerti apa yang kau pikirkan dan apa yang kau rasakan," ucap Dave yang terdengar begitu frustasi. Aku merasa sedih mendengar suaranya yang parau. Tak kusangka secara tidak langsung aku sudah membuatnya sedih.
"Maafkan aku," gumamku pelan membuatnya menarik tubuhnya dan menatap wajahku.
"Aku tak akan membuatmu khawatir lagi," ucapku memberanikan diri menatap langsung matanya cukup lama. Dia terkekeh pelan kemudian mengusap kepalaku dengan gemas. Ralat, bukan mengusap kepalaku tapi lebih tepatnya mengacak rambutku. Aku langsung mendengus kesal dan memegang kepalaku. Apa yang membuatku terlihat lucu? Dia malah tertawa setelah itu dan aku justru mentapnya tanpa berkedip sedikitpun. Ini pertama kalinya aku melihat Dave tertawa lepas. Itupun saat dia bersamaku. Dave terlihat sangat manis saat tertawa, bahkan Lucy juga mengakuinya.
"Kenapa kau terus menatapku seperti itu, sweetheart?" tanya Dave membuatku sadar telah terlalu lama menatapnya.
"Tidak, hanya saja kau membuatku ingat pada kakakku," jawabku jujur. Aku memang ingat dengan kakak laki-lakiku. Dulu kami sering tertawa bersama dan dia juga sering mengacak-acak rambutku.
"Kakak? Jadi kau punya kakak?" tanya Dave yang terlihat takjub sekaligus penasaran. Aku mengangguk memberi jawaban.
"Dulu dia sering mengejekku dan juga mengacak-acak rambutku. Kemudian aku akan marah padanya dan mengadukannya pada ibuku. Tapi dia justru mentertawakanku dan ibu malah membelanya. Dan saat kuadukan ayahku, ayah malah ikut mentertawakanku. Mereka bilang aku terlihat lucu saat marah," kataku dengan bersungut-sungut kesal mengingatnya. Aku menoleh ke arah Dave yang tiba-tiba tertawa mendengar perkataanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MATE [END]
WerewolfPART TIDAK LENGKAP! Malam pembantaian yang sudah merenggut seluruh nyawa anggota keluarga dan seluruh anggota packnya tak akan pernah hilang dari ingatan gadis itu. Levia Fransia, gadis 15 tahun yang ditinggalkan seorang diri dengan kenangan terburu...