FE - 5

463 165 25
                                    

Cuaca hari ini sedikit mendung, Ariska dan teman sekelasnya keluar kelas karena pelajaran Olahraga. Hari yang paling gadis itu tunggu-tunggu karena ia suka sekali pelajaran olahraga.

Menurutnya olahraga bisa menghilangkan setres. Seperti banyak tugas sekolah, dimarahi Bunda, dan dapat nilai buruk. Tapi tidak untuk urusan percintaan, entahlah Ariska belum pernah merasakannya. Mungkin lebih tepatnya mencari kesibukkan untuk bisa menghilangkan setres.

Ariska sangat berharap, kisah asmaranya nanti berjalan dengan mulus, tidak ada ujian yang terlalu rumit. Sebenarnya Ariska ingin merasakan apa itu cinta, tapi gadis itu yakin kalaupun ia merasakannya pasti tidak jauh dari kata 'cinta monyet'.

"Lari tiga kali putaran, lalu pemanasan." ucap Bu Endang kepada mereka yang sudah rapih membuat barisan.

Tanpa aba-aba lagi mereka sekelas langsung lari mengelilingi lapangan sekolah–seperti yang diperintah oleh Bu Endang.

Diantara siswi-siswi di kelas Ariska, gadis itu yang paling bersemangat, kalau yang lain malah sebaliknya. Mereka tidak suka olahraga, apa lagi lari. Dan juga takut bedaknya luntur terkena panas matahari atau keringat.

Ariska bahkan setiap sekolah tidak pernah melapisi wajahnya dengan , baginya itu hal yang menggelikan.

Ketika sudah selesai lari dan pemanasan,
Bu Endang menatap mereka, "Semuanya baris! Hari ini kita ambil nilai senam lantai." ucap Bu Endang.

Ariska menghembuskan nafas panjang, ia paling tidak suka jika mengambil nilai senam lantai. Gadis itu senang permainan yang berhubungan dengan bola. "Adinda." lanjutnya.

Dan Bu Endang membacakan nama-nama yang ingin ia ambil nilai. Setelah ambil nilai Ariska memilih untuk bermain bola basket–sendiri. Berkali-kali memasukkan bola ke ring, dan cuaca pun mulai memanas seiring berjalannya waktu.

Ariska mengusap keringatnya dengan tangan. Kali ini ia memasukkan bola ke dalam ring dan memantul, sehingga gadis itu harus membalikkan badannya untuk mencari bola tersebut. Dan yang Ariska dapati malah bola basket itu yang menghampirinya dan mencium puncak kepala gadis itu.

Ariska meringis kesakitan.

Diujung sana, terdapat Rycki sedang tertawa.
"Bego!" umpat Ariska yang masih mengusap-usap kepalanya.

Rycki menahan tawa, "Bukannya ditangkep." imbasnya.

Ariska mengabaikan ucapan Rycki, ia memilih pergi ke tepi lapangan untuk istirahat. Gadis itu meluruskan kakinya yang sudah mulai terasa pegal. Sedangkan Rycki malah menghampirinya.

"Jago juga ya lo," sahut Rycki seperti bicara sendiri. Ariska menengok ke arah kanan dan kiri untuk mencari seseorang yang Rycki ajak bicara. Sepertinya hanya ada dirinya dan Rycki.

Rycki mendekati Ariska. "Gue ngomong sama lo, pea." ucapnya menoyor kepala Ariska.

Ariska menepis tangan Rycki. "Yee, biasa aja kali."

"Nih," Rycki menyodorkan sebotol air mineral kepada gadis itu. "Gue tahu lo pasti haus." lanjutnya.

Ariska menerima botol itu. "Thanks."

"Gue tantang lo main basket." tawar Rycki yang mengabaikan ucapan terima kasih Ariska. Ariska meliriknya dan membuang nafas dengan kasar.

"Gak usah sok bisa main basket." tukas gadis itu.

"Makanya itu, sekalian gue mau belajar," ujar Rycki. "Ayok." lanjutnya sambil menarik lengan Ariska. Mau tidak mau Ariska berdiri dan mensejajarnya tubuhnya dengan Rycki.

"Dribble aja dulu kali ya?" tanya Ariska.

Rycki memasang raut wajah tidak percaya. "Elah, anak TK juga bisa."

Faded ExpectationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang