FE - 9

169 32 1
                                    

Upacara akan segera dimulai.

"Baris itu yang bener, udah SMA masih aja kaya anak TK." ucap salah satu guru yang Ariska belum tahu siapa namanya sambil menarik tangan siswa yang berada di ujung sebelah kanan.

"Geser tiga langkah ke kiri jalan." ucap guru tersebut.

Ariska dan yang lain mengikuti perintahnya.

"Heh!" teriak pak Okky.

Ariska langsung menghadap ke sumber suara. Ia tidak melihat pak Okky, ia hanya mendengar suara kaki-yang bisa dibilang lari pelan.

Ternyata segerombolan anak cowok kelas sebelas sedang dimarahi oleh pak Okky. Mereka lari. Dan salah satu dari mereka bersembunyi di samping kiri barisan Ariska. Dia memegang bet kelasnya.

"Idiot." gumam Ariska yang tidak terdengar olehnya.

Cowok itu tertawa–bahagia, walaupun dia tidak berhadapan dengan Ariska tapi suaranya terdengar jelas di telinganya. Ariska yakini pasti dia sedang menertawai pak Okky.

"Heh kamu ngapain di situ! Pergi kebarisan kamu! Kamu pikir saya gak tau muka kamu!" oceh pak Okky.

Tawanya belum berhenti sampai dia menatap Ariska sekilas lalu lari di hadapannya. Ariska menundukkan kepala. Ia senang sekali bisa melihat senyumnya yang khas, yang jika tertawa terlihat gingsulnya.
Tapi disisi lain ia gugup. Ariska gemeteran. Ia dingin. Ia pucat. Baru kali ini Ariska merasakannya. Melihat cowok itu sedekat ini.

Brukkk..

Cowok itu terselandung kaki salah satu siswa yang sedang berjalan ke ujung sebelah kanan untuk berbaris.

"Sorry kak.." ucap siswa itu.

Merasa tidak ada respon dari cowok itu, ia lantas ingin membantunya berdiri. Tapi cowok itu dengan cepat menepis tanggannya.

Disisi lain Ariska yang melihat kejadian itu ingin sekali menolongnya, tapi ia takut jika tidak dianggap keberadaannya dan dianggap sok peduli oleh siswa-siswi di sini.

"Kasian deh kamu, makanya jangan bandel." ujar pak Okky yang memasang wajah ingin tertawa, kasihan, dan gemas. Ah, Ariska tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaan cowok itu sekarang.

Cowok yang di kagumi oleh Ariska bernama Anrez Yoga Pratama.
Cowok paling terkenal di sekolah ini.
Cowok yang selalu memasang ekspresi datar.
Cowok yang jarang senyum–tapi kalau sudah berkumpul dengan temannya dia berbeda.
Cowok yang tidak nakal–bukan perokok.
Cowok yang menyimpan banyak rahasia dari wajahnya.

"Lo sakit?" tanya Merly tiba-tiba.

"He? Enggak." jawab Ariska cepat.

"Itu pucet."

"Enggak."

"Yang lari tadi gebetan lo ya? Makanya lo jadi pucet gini," godanya sambil menyenggol pelan bahu Ariska.

"Sok tau."

"Mau ke UKS?"

"Gue gak sakit Mer, lo denger kan?"

"Maksud gue, temenin gebetan lo itu, pasti dia di UKS."

Ariska hanya memutarkan bola matanya malas.

Sekarang Ariska dan Merly sudah saling menunjukkan sifat asli mereka. Itu semua karena Ariska yang minta, ia kemarin malam menelfon Merly untuk saling tampil apa adanya. Entah lah apa yang ada dipikiran Ariska saat itu, tapi tanpa pikir panjang Merly meng-iyakan ajakan Ariska. Merly sebenarnya sempat tertawa mendengar suara Ariska yang terdengar sok polos itu. Permintaan yang bodoh dan baik.

Faded ExpectationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang