FE - 13

55 7 1
                                    

Derap suara langkah kaki memenuhi koridor sekolah, Ariska berlari secepat mungkin mengejar waktu. Lagi-lagi gadis itu terlambat. Rambutnya sudah tidak beraturan. Nafasnya terengah-engah. Bel masuk sudah berbunyi selama 15 menit yang lalu.

Ketika sudah sampai di depan pintu kelas, Ariska membuka mulutnya-terkejut. Guru mata pelajaran IPA sedang menatapnya tajam. Gadis itu tersenyum kikuk dan melangkahkan kaki ke dalam kelas. Dia menghampiri guru itu.

"Maaf, bu. Saya terlambat." ucap Ariska ragu-ragu.

Guru di hadapan Ariska tidak bergutik. Setelah 2 menit, ia angkat bicara. "Untuk kali ini saya maafkan."

Ariska menatap tidak percaya. "Terima kasih, bu." ujung-ujung bibirnya melengkung.

Gadis itu berjalan menuju tempat duduk, di sana sudah ada Merly dengan tatapan heran.
Baru saja ia menaruh tas di atas kursi, "Lo udah nyatet halaman 21?" bisik Merly.

Ariska memundurkan badannya disertai tatapan was-was.

"Kumpulkan catatan kalian." suara guru di depan kelas membuat bulu-bulu di tangan Ariska berdiri.

***
"Untung aja itu guru lagi dapet hidayah, kalau gak, lo bakal di hukum." cecar Merly sambil menatap guru yang sedang berjalan keluar kelas karena jam pelajarannya sudah habis.

Ariska meletakkan kepala di atas tumpuan tangannya. Sekolah itu membosankan-belajar yang membosankan.

Merly menatap Ariska. "Kemarin pergi sama siapa?" tanyanya tiba-tiba.

Ariska diam sejenak lalu menegakkan tubuhnya. "Rangga."

"Lo suka?"

"Gak."

"Bener?"

"Lo nanya apaan sih? Gue gak suka." balas Ariska dingin.

Merly memutarkan bola matanya. "Gue sih setuju-setuju aja."

Ariska hanya diam.

Gadis yang ada di sebelah kiri Ariska pun menarik nafasnya.
"Kita gak bakal tahu kapan kita mulai menyukai seseorang. Dan jangan mudah nerima cowok yang baru lo kenal." jelasnya.

Ariska menoleh, mendapati Merly sedang menatapnya.

"Nilai seseorang dari dia memperlakukan lo." Merly tersenyum.

Sumpah. Ekspresi seperti itu membuat Ariska ingin muntah.

Ariska membuang nafasnya kasar. "Gue gak suka, Mer. Kurang jelas?"

"Bukan kurang jelas, tapi belum jelas."

***
Ariska mencuci wajahnya di toilet. Dia menatap cermin yang memperlihatkan gadis yang murung. Kantung matanya mulai terlihat jelas. Ariska selalu terlihat tidak bersemangat. Diraihnya paper bag berwarna hitam ke genggamannya. Gadis itu berniat mengembalikan baju olahraga Anrez, tetapi dia memilih untuk menitipkan kepada Erica.

Ariska melangkahkan kaki ke kelas Erica, dengan mood-nya yang buruk, dia berusaha terlihat semangat. Beberapa detik menghela nafas lelah.
Setelah sampai di depan kelas Erica, gadis itu melihat Fany yang baru dari kantin.

"Fan," panggil Ariska, yang di panggil pun lantas menoleh dan tersenyum. Gadis itu menghampiri Fany.
"Erica ada?" tanya Ariska ketika sudah dihadapan Fany.

"Ada, bentar ya gue panggil?"

Ariska mengangguk sambil menunggu di ambang pintu. Beberapa menit kemudian Erica datang menatap Ariska.

Erica berdeham. "Lo cari gue?"

Ariska tersentak. "Eh iya. Gue mau nitip ini." gadis itu memberikan paper bag.
"Baju olahraga-" Ariska diam, memikirkan siapa nama kakak kelas itu. "Kakak kelas yang lagi dekat sama lo." lanjutnya dengan suara getir.

Faded ExpectationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang