Eight

24 4 0
                                    

Sally's pov

Aku masih tidak mengerti dengan apa yang sebenernya terjadi kepada Lucas. Kemarin saat aku menanyakan perilah orang-orang yang memukuli dan membuatnya cidera, ia bilang bahwa orang-orang itu hanyalah salah sasaran. Tetapi, apakah itu tidak aneh melihat mereka salah sasaran sampai dua kali dan kepada orang yang sama yaitu, Lucas?

Munafik jika aku mengatakan saat ini aku tidak mengkhawatirkannya. Jujur saja, percaya atau tidak kini aku mulai merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri setiap kali aku memikirkan tenatang Lucas. Nah, memikirkan tentang dia saja itu sudah aneh bagiku karena untuk apa aku memikirkannya?

Jangan tanyakan itu padaku karena aku sendiri pun bisa gila karena tidak tau harus menjawab apa. Aku sendiri heran, semenjak aku mengobrol dengnanya kala siang itu membahas mengenai sandwich. Aku mulai melihat sisi lain dari pria urakan yang beberapa waktu lalu kutemui didepan tempat kerjaku. Rasanya aneh menyadari bahwa aku begitu membencinya dan mendadak kini aku memikirkannya.

Sulit untuk mengakuinya diawal bahwa aku memang sedang memikirkannya bahkan saat sedang bekerja pun aku selalu memikirkan tentang Lucas. Dan hal terakhir yang kupikirkan adalah caranya berbicara dan setiap kata yang keluar dibibir berhias sebuah tindikan itu.

Aku tertawa kecil tiba-tiba saat mengingat Lucas mengutip kata-kata Louisa Clark dari film yang kemarin kami saksikan. If you want me to.

Aku tersadar dari lamunanku saat sebuah tangan melambai-lambai tepat dihadapan wajahku. Oh, itu tangan sang Dokter muda—Justin. "Maafkan aku, apa kau mengatakan sesuatu tadi?"

Justin menggelengkan kepala. "Tidak hanya saja aku harus kembali bekerja karena ada pasien yang harus kutangani."

Aku mengangguk. "Baiklah. Kau pergi saja duluan, aku akan duduk disini sebentar."

"Maaf aku tidak bisa mengantarkanmu pulang, Sally."

Aku menyunggingkan senyumku pada Dokter muda ini. "Ada seseorang yang harus kau selamatkan, Dokter Mills."

Membalas senyumku, Justin langsung berbalik badan dan meninggalkan kantin Medical Center dan beranjak menuju ruang UGD. Tak sadar, ternyata aku belum menghabiskan makanku dipiring. Merasa mood makanku hilang, pun aku menghabiskan kopiku dan langsung beranjak pergi.

Sekarang, kemana aku harus pergi?

Lelah rasanya jika aku harus menunggu Justin hingga ia selesai menangani pasiennya. Seperti saat aku memaksakan diriku menunggu Justin saat menangani korban tabrak lari yang membutuhkan lima belas jahitan ditubuhnya. Aku menunggu berjam-jam hingga tertidur diruangan Justin.

Tidak, tidak lagi. Aku mempercepat langkahku berjalan menuju halte bus yang tak jauh dari gerbang utama Medical Center. Selang beberapa menit, bus tujuan rumahku tiba dan aku langsung melompat naik. Hari ini aku benar-benar kosong karena Ruby meliburkan semua pegawai dan menutup Oliver's dengan alasan yang tidak jelas. Aku tau kedai kopi tempat kubekerja itu mulai kalah saing dengan sebuah kedai baru disebrang kedai kami tetapi seharusnya Ruby tidak bertindak seperti itu. Aku hanya berharap Ruby tidak benar-benar menutup Oliver's.

Menatap kearah jalan besar. Aku dapat melihat tiga orang perempuan yang nampaknya akan berangkat kekampus. Jujur saja, hal itu membuatku sedih karena aku sangat ingin melanjutkan pendidikanku diuniversitas. Sudahlah, aku lelah jika harus bergelut dengan pikiranku sendiri.

KNOCKED | ON HOLD📌Where stories live. Discover now