07

5.6K 346 12
                                    

"Permisi...Bibi Yi..."

Seorang wanita paruh baya berjalan cepat kearah pintu rumahnya dengan menenteng sebuah kunci. Segera wanita itu membuka pintu dan memasang senyuman tulus dibibirnya namun baru juga akan menyapa wanita itu langsung tersentak kaget.

"Ya ampun, Hana. Kenapa wajahmu pucat begini, baju juga kusut..." wanita itu menangkap raut tidak nyaman yang tertoreh diwajah gadis cantik didepannya. Berusaha mencairkan suasana, wanita paruh baya itu berpura-pura marah sambil berkacak pinggang.

"Hana, kemana saja kamu sampai pagi begini baru pulang. Bibi khawatir sekali padamu, tau!" Bibi Yi, wanita paruh baya keturunan Tionghoa itu menunggu reaksi Hana yang jika dia berpura-pura marah, biasanya gadis manis itu akan tertawa pelan dan merayunya dengan godaan film drama India yang sengaja dia koleksi demi tetangga tersayang.

"Maaf..."

Kening Bibi Yi menyerngit heran. Hana hanya membalas godaannya dengan lirih dan tanpa basa-basi. Bahkan gadis manis itu tetap mengunci rautnya dalam kedataran. Rasa cemas langsung merajai hati wanita paruh baya itu. Bagaimanapun Hana adalah cucu sahabatnya dan tetangga yang dia sayangi semenjak gadis itu masih berwujud seorang bocah nakal.

"Hana, sayang...apa kau sakit?" tanya Bibi Yi penuh kekhawatiran.

Hana menggeleng kecil. Mata tua Bibi Yi menangkap kerutan dikening Hana, seperti sedang menahan sesuatu yang membuat gadis itu tidak nyaman.

"Saya tidak apa-apa, Bi. Jangan cemas. Bisa saya minta kuncinya, Bibi Yi?" ucap Hana tanpa basa-basi seolah-olah mereka tidak pernah dekat sebelumnya.

Bibi Yi langsung menyerahkan kunci dan sedikit kaget saat Hana merampas benda berkilau itu dengan terburu-buru dan mengakibatkan kunci itu terjatuh. Tangan yang gemetaran dan ringisan kesakitan walaupun terdengar lirih masih bisa disadari oleh Bibi Yi. Wanita tua itu yakin jika telah terjadi sesuatu pada gadis kecilnya. Dan Bibi Yi akan menunggu Hana sendiri yang akan berbicara. Matanya menyendu melihat punggung kecil yang terlihat sangat rapuh itu mulai menjauh.

"Semoga semuanya baik-baik saja..."
.
.

.

Dengan tangan yang masih gemetaran Hana menuang air putih kedalam gelas. Dengan terburu-buru dia meminum air itu sampai habis tak tersisa. Bahkan bajunya basah karena banyak aliran air tertumpah saat mulutnya tidak mampu lagi menampung. Hana mengisi lagi dan meminum sampai habis, lagi. Begitu terus berulang-ulang sampai perutnya memberontak, menolak untuk terus diisi. Hana memuntahkan seluruh isi perutnya.

Hana menatap datar genangan muntahnya yang mulai mengeluarkan bau tidak sedap. "Jadi kotor..." terpincang-pincang Hana berjalan kedapur dan mengambil kain lap.

Dibersihkannya muntahan itu dengan cepat. Mengabaikan rasa jijik. Mengingkari rasa perih yang membakar kemaluannya. Menahan aliran airmata menetes bahkan sebutir pun. Hana sudah kehilangan jiwanya. Bahkan untuk menangis dan menjerit saja pun dia sudah tidak mampu.

Saat akan berdiri lututnya tidak sengaja menyenggol meja, gelas bekasnya tadi menggelinding dan pecah kelantai. Hana memandang pecahan kaca itu. "Jadi kotor lagi..." lirihnya pelan kemudian mengutipi pecahan itu langsung dengan tangannya.

Darah langsung mengalir dari sela-sela jarinya. Hana tetap membisu dan terus mengutipi pecahan yang semakin merobek tangannya. Hana melihat ceceran darahnya dilantai dan mengelap dengan kain bekas muntahannya. Bukannya bersih, lantai itu malah semakin kotor. Hana masih terus melakukan hal yang sama, dikeheningan rumah, sendiri. Tanpa pelindung, tanpa teman. Sendiri. Tanpa jiwa.

L.O.V.E (Why You Hurt Me So Much)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang