11

6.3K 584 101
                                        

Maafkan ane karena menelantarkan anak-anak yg ane lahirkan di wattpad.

Padahal masalah keluarga ane udah kelar tp malah diserang sama penyakit kehilangan ide.

Blank!!!

Jadi jika chap kali ini kurang bagus...maafkan ane yah

Ciaooooo
---------------------------------------------


Menyesal.

Andai saja dia tetap berada dikamar dan tidak pernah keluar maka amarah ini tidak akan memenuhi seluruh tubuhnya. Apa lagi yang harus dia buktikan. Belum cukupkah semua kepahitan yang beruntun menimpanya. Hana sudah lelah. Apa ini imbalan dari semua kesabarannya. Apa Tuhan melupakannya atau malah...membencinya.

Hana merosot duduk. Punggungnya bersandar didinginnya dinding kamar mandi. Entah sudah berada lama dia mengurung diri didalam.

Ingatannya terlempar kemenit-menit sebelum rasa putus asa ini memenuhi seluruh hatinya.

Menit-menit saat bibir dokter wanita itu mengucapkan jika Hana mengandung.

Dua minggu.

Kekehan sinis tanpa sadar terucap dari celah bibirnya yang memucat. Sepucat wajah Bibi Yi kala itu.

Dengan pelan Hana menghembuskan napas. Bola matanya bergulir kebawah. Tepatnya kearah pergelangan tangannya yang memerah pekat. Memerah darah.

"Aku tidak sanggup...tidak...sanggup lagi..."

Dan kegelapan pun mulai merayap memasuki kesadarannya.
.
.
.
.


Bosan.

Itulah yang dirasakannya. Aryo menghabiskan seluruh waktu dengan bekerja dan terus bekerja. Rasanya percuma menikmati kesenangan yang biasa dilakoninya saat hanya rasa hambar yang mendominasi. Jika Aryo mengatakan rindu maka dia akan muntah saat ini juga. Kehadiran Valdie bagai hiburan tersendiri untuk jiwanya. Saat bersama bocah nakal itu, sisi kosong Aryo terasa terpenuhi. Sisi seorang adik yang tak pernah dia dapatkan.

Aryo meringis saat pemikiran itu muncul kembali. Bisa habis dia ditertawakan playboy busuk itu jika tau.

Jemari panjangnya dengan santai memutar kunci mobil. Langkah kakinya mantap menapaki satu demi satu anak tangga. Tidak perlu mengetuk ataupun memencet bel. Tidak perlu dibukakan pintu oleh pelayan. Adalah kebiasaan pemuda tampan itu untuk masuk tanpa dipersilahkan. Toh, rumah ini juga miliknya. Jadi tidak masalah bukan?

Mata pemuda itu menyapu semua sisi rumah. Sepi adalah kata yang tepat. Wajar saja sebenarnya. Ayahnya masih belum kembali dari luar kota dan jelas juga, ini masih terlalu pagi.

Salahkan perempuan sial yang membangunkannya dengan cara yang amat tidak terhormat. Semua kepuasan seks yang diberikan perempuan itu tadi malam menghilang dalam sekejap berganti dengan rasa jijik. Seharusnya Aryo menyumbat mulut perempuan itu sebelum dengkuran keras mengotori kesucian pendengarannya.

"Ibu..." ujarnya pelan saat melihat sosok ibunya yang sedang duduk tak bergerak. Dengan pelan dia melangkah, berniat ingin sedikit menggoda ibunya dengan ciuman selamat pagi dadakan. Siapa tau dia bisa mendapatkan menu sarapan favoritnya.

L.O.V.E (Why You Hurt Me So Much)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang