Bahagia? bahkan aku tidak tau bagaimana rasanya, indahnya bahagia karena cinta dan kehangatan di dalam keluargaku sendiri. hidupku bagaikan daun kering yang jatuh dan berserakan, tak berdaya, rapuh, bahkan dengan mudahnya seseorang menyapu dan membuangku. Aku bingung? untuk apa dan apa guna aku ada jika hanya untuk dijatuhkan dan dicampakan, oh andai remuk ini dapat kubagi hingga mereka semua dapat merasakan hancur yang kurasakan, oh andai aku dapat menukar jalur hidupku dengan mereka yang lebih beruntung dariku. Tapi jika memang bisa? apa masih mungkin aku tetap mengenalnya seperti saat ini? Ah dia, memang hanya dia, pria sekaligus satu-satunya orang yang amat sangat kucinta, aku tidak tau bagaimana aku tampa dorongan darinya bahkan karenanya aku bisa lebih bertahan demi hidupku walaupun sangat amat pahit dan perih, namun aku tak tau apa dia juga mencintaiku seperti aku padanya? ah bukan lagi hal yang menyedihkan jika dia tidak merasakan hal yang sama padaku, karena senantiasanya tidak akan pernah ada yang memprioritaskan diriku, yang ku tau dan ingin adalah aku mencintainya dan selalu menginginkan kehadirannya di sisiku ah bakhan melebihi keluargaku, AH tunggu? apa aku masih memiliki keluarga? ohhhhh
"Hhm hmmha ha keluarga? apa? keluarga? ehehmm akhhs"
Tok tok tok tok
"Ada orang di dalem? Dani? ni gue balik, buka pintu cepet, gue keujanan ni!"
Seorang pria datang menggedor-gedorkan pintu itu di tengah lamunan gadis yang terlihat penat dengan penampilan urakan dan tak lupa sebatang rokok yang tergenggam diantara dua jarinya. Tidak tersentak memang dengan suara teriakan orang di luar sana, sebaliknya ia malah menghiarukan suara suara bising itu dan terus saja melamun dengan pikiran kosongnya.
"heh Dani, buka ga ni pintu! ujan deres ini, jangan becanda dong lo. DANI BUKA!" DOR DOR DOR....
Tanpa sedikitpun rasa takut karena teriakan itu, gadis itu tetap saja diam tanpa kata bahkan tanpa ekspresi wajah, datar, kosong, sedikit pucat, namun tetap, dengan gerak yang malas gadis itu akhirnya membukakan pintu untuk pria itu dan mendapatinya sudah sedikit basah terkena hujan, memang cuaca kini hujan sangatlah lebat ditambah tiupan angin yang membuat suasana semakin dingin.
"Deva!? kamu ngapain di kosan aku malem-malem gini?, kamu- apa ini? (merebut sebatang rokok yang digenggam gadis itu dan membuangnya) Deva, jawab aku, apa yang abis kamu lakuin? kenapa ka-"
"Sssttt aku cuma kangen sama kamu Radit"
Tanpa menghiraukan amarah pria di hadapannya gadis dengan nama Deva Anjani itu menahan kata yang ingin terucap dari mulut pria itu dengan jemari telunjuknya, tak lupa tersenyum sangat manis kearahnya walaupun wajah pucatnya tak dapat bisa disamarkan dengan senyum manisnya itu.
"Iya tapi kamu-
Pria itu, Radit, langsung menarik lengan Deva kedalam dan tak lupa menutup pintu terlebih dahulu. Radit menuntunnya hingga keduanya duduk di atas sofa kamarnya.
"Deva, ayo cerita sama aku kamu kenapa? ko kamu bisa ada di sini? ini kan udah malem, muka kamu juga kenapa pucet banget? kamu sakit?"
Lagi-lagi Deva tersenyum manis menatap Radit sebelum akhirnya menjawab seadanya.
"Kan aku udah bilang aku kangen kamu, apa aku salah nemuin kamu ke sini?
"Tapi Dev ini udah malem apalagi kamu perempuan, apa kamu ada masalah lagi di rumah? iya? oke mungkin kamu emang ada masalah, dan aku bukan nggak mau dengerin cerita kamu, yu sekarang kamu siap-siap aku anter pulang"
Tanpa meminta jawaban dan penjelasan Radit menggenggam tangan Deva berniat mengantarkannya kembali ke rumahnya.
"Radit Radit, please. Aku mau di sini aja. Please dit sekali ini aja. Aku mau sama kamu"
Deva menangis, walaupun dalam benaknya ingin mencoba menahan tangisnya namun kali ini tak bisa. dengan sebelah tangannya ia mencoba menutup kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya hingga isak tangisnya terdengar jelas di telinga Radit.
"Please dit, please. hiks hiks"
"Udah udah cukup Deva, hei sayang udah jangan nangis lagi ya. Oke kamu boleh ko di sini, tapi tolong kamu jangan nangis lagi"
Radit memeluk Deva di tengah isak tangisnya. Khawatir, terlihat jelas di wajah Radit. Ya, Radit tidak bisa melihat wanita menangis di hadapannya. Dengan sangat lembut Radit memeluknya hingga tak terdengar lagi suara tangisnya.
"Yaudah kamu sekarang tidur ya, kamu tenangin diri kamu. aku ga akan kemana mana"
Radit menuntun Deva ke ranjangnya dan menyuruhnya untuk tidur. Tanpa banyak kata Deva segera tidur memejamkan matanya.
Radit duduk di atas sofa tempat ia memeluk deva tadi, terdiam melamun menatap gadis yang tengah tertidur pulas itu, ah gadis itu sebenarnya memang sangatlah polos, namun entah apa yang ada dipikirannya? apa itu masalah atau pertikaian dalam hidupnya kini, sampai-sampai wajah polos itu dapat tersamarkan dengan efek masalah yang dihadapi. Kehancuran keluarga, pertikaian yang membawa perpisahan kedua orangtuanya, ayah dan ibunya, semua itu seperti awal kehidupan kelabu yang akan dijalaninya sampai semasa hidupnya, bahkan hingga tersirat kabar sang ibu akan membangun sebuah keluarga baru, ya tanpa Deva dan juga adik-adiknya. Sampai Deva merasa dirinya sudah tak berarti untuk kedua orangtuanya terutama bagi ibunya. Sempat terfikir untuk mencoba mengakhiri hidupnya, namun kehadiran Radit seakan memberikan sedikit udara segar untuknya. Radit selalu ada dan setia untuknya, hingga pikiran buruk itu tiba, raditlah yang mencegahnya hingga ia bertahan sampai saat ini, namun bukan hanya Radit yang berpengaruh baginya, kedua adiknya yang terbilang masih sangat belia juga satu bagian dari ketegarannya hingga kini. Deva sangat benci mengingat pertikaian kedua orangtuanya, namun Deva tetap menyayangi kedua adiknya, salah-satu alasan bertahannya yaitu kebahagiaan kedua adiknya, Tak perduli seburuk apapun hidup yang ia jalani.
"Kamu polos banget dev, tapi aku sayang banget sama kamu, aku harap kamu cepat bahagia dev, aku gamau liat kamu sedih terus kaya gini" ucap Radit yang masih memandangi Deva yang tengah tertidur.
Beberapa saat memandangnya, Radit kemudian juga tertidur diatas sofa yang kini didudukinya.
....
Your vote n coment give me spirit n make me pround:)
Thnkyou:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
Teen FictionPerpisahan kedua orangtuanya seperti awal kehidupan suram yang akan dialami Deva. Deva hancur dengan keadaan itu, yang ia ingin hanya keutuhan dan kehangatan bersama keluarganya sendiri. Bahkan rasa hancurnya menumbuhkan fikiran untuk mengahkiri hid...