Tidak disangka jika hari ini akan pulang telat lagi, ditambah harus terjebak dalam derasnya hujan. Terpaksa Deva harus meneduh dahulu sampai sekiranya hujan turun agak reda.
Deva berhenti di depan sebuah rumah makan cepat saji. Sebenarnya ia agak risih jika harus berteduh di tempat seperti itu, namun mengingat hujan yang sudah turun deras, jadi apa boleh buat?.
Beberapa saat berteduh karena hujan, membuat Deva merasa udara sangat dingin. Deva memeluk dirinya sendiri sekadar meringankan udara dingin yang menjalar di tubuhnya.
"Sari, pokonya kamu harus tetep menikah dengan saya. Saya sayang banget sama kamu, kamu juga kan, hmm?- heyy ko diem si sar? iya kan?"
"Emm ii-iiya mas"
Deva tersentak, matanya membelalak tak percaya. Segelintir air mata secara tiba-tiba menetes di pipinya.
"Iya apa sar? kamu nggak akan nolak lamaran saya kan? coba bilang ke saya kamu sayang dan cinta sama saya!"
Hati Deva terasa tertusuk secara tiba-tiba mendengar ucapan pria itu. Deva semakin penasaran akan jawaban wanita di hadapan pria itu. Sesegera mungkin Deva menghampiri kedua orang itu yang duduk berhadapan di dalam rumah makan itu, Deva berdiri tepat di belakang wanita itu, dengan tatapan tak percaya juga sebutir demi sebutir air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Deva masih menunggu jawaban wanita itu.
"Ii-iya mas saya mau tentunya menikah sama mas"
Goresan demi goresan dengan cepat melukai hatinya. Rasa tak percaya semakin memperkuat pikirannya, air mata pun semakin mengalir deras di pipinya, saat mendengar kata singkat itu juga saat lelaki itu mengecup punggung tangan wanita di hadapannya. Deva sudah tak tahan lagi melihatnya.
Deva melangkah sehingga tubuhnya dapat terlihat jelas oleh kedua orang itu, dengan memaksakan menahan isak tangisnya, Deva berusaha berkata, "Ibu!!" Deva menggeleng kepalanya, menatap satu persatu dua orang di hadapannya, dengan tatapan sangat kecewa. Kemudian Deva menutup mulut sampai hidungnya dengan punggung tangannya, dan tanpa pikir panjang lagi, Deva berlari meninggalkan dua orang itu.
Wanita bernama Sari yang diketahui adalah ibu kandung Deva itu, tak percaya dan sangat terkejut dengan kehadiran Deva di hadapannya yang secara tiba-tiba. Wajahnya berubah menjadi sangat takut dan salah tingkah. Rasa ingin mengejar putrinya itu tertahan karena keberadaan pria di hadapannya. Hanya pasrah, itu yang ia lakukan kini.
Hujan masih turun sangat deras, namun rasa emosi, kesal dan kecewa telah menguasai dirinya. Deva tidak berfikir lagi dengan resiko karena mengendarai motor ditengah derasnya hujan, semua itu karena semua rasa pahit yang ia harapkan tidak nampak lagi, muncul secara tiba-tiba sehingga membuat emosi Deva berada di luar pengendaliannya.
Di tengah derasnya hujan, di tengah dinginnya hembusan angin, Deva tetap membawa kencang sepeda motornya. Tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Air mata pun sudah tidak dapat dibedakan lagi dengan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya. Deva kesal, sendu, dan tentu jangan tanyakan lagi masalah kecewa! Bagaimana mungkin rasa kecewa itu tidak timbul? disaat dengan nyata dan dilihatnya langsung di hadapan kedua bola matanya, Deva melihatnya, melihat ibunya sendiri bermesraan dengan pria, pria yang sudah jelas bukan ayah kandung Deva, pria yang ingin merebut posisi ayah Deva. Dan harus dikatakan berapa kali lagi? bahwa Deva tidak ingin ada orang lain menggantikan posisi ayah juga ibu kandungnya, yang Deva inginkan hanyalah kedua orangtuanya menyatu kembali, bukan dengan orang lain.
Suara adzan mulai berkumandang saat ini, namun Deva tak menghiraukannya, ia tetap mengendarai sepeda motornya dengan kencang. Walaupun kenyataannya, rumahnya sudah berada cukup dekat, namun tetap saja, bukankah lebih baik ia tidak berada di jalan disaat suara itu mulai berkumandang di telinganya, apalagi mengingat hujan yang masih sangat deras, itu juga dapat membahayakan dirinya sendiri. Apa mungkin rasa kecewa yang bercampur dengan emosi dapat merubah putih menjadi merah api? Ah, itu mungkin saja terjadi jika seseorang sudah tak mampu, ah tunggu! mungkin lebih tepatnya jika seseorang sudah tak mau memunculkan kesabarannya lagi, karena sebesar apapun masalah masih dan akan tetap bisa diselesaikan dan dibicarakan secara baik dengan kedua belah pihak, bukan dengan kekerasan ataupun amarah. Bukankah begitu?.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
Teen FictionPerpisahan kedua orangtuanya seperti awal kehidupan suram yang akan dialami Deva. Deva hancur dengan keadaan itu, yang ia ingin hanya keutuhan dan kehangatan bersama keluarganya sendiri. Bahkan rasa hancurnya menumbuhkan fikiran untuk mengahkiri hid...