"ukhuk ukhukh…"
Suara batuk yang tak kunjung henti itu, sontak membuat lamun Radit juga Roy menjadi buyar. Keduanya saling pandang beberapa detik, dan mengingat siapa yang memiliki suara itu. Lantas, Radit juga Roy dengan buru-buru langsung menghampiri seseorang si pemilik suara batuk itu.
Roy yang memang melangkah lebih dulu dari Radit, menghentikan tiba-tiba langkahnya saat sudah berada di depan pintu kamar Deva. Hal itu berhasil membuat Radit juga serta menghentikan langkahnya. Radit bingung.
Roy menoleh ke wajah Radit, dan mengisyaratkan agar Radit saja yang masuk ke dalam, dan Roy hanya melihat dari ambang pintu kamar Deva.
Radit segera membuka lebar pintu kamar Deva dan menghampirinya. Didapatinya Deva yang tengah kesusahan mengambil gelas berisikan air putih itu. Radit pun langsung membantu Deva mengambilkan segelas air itu, dan meminumkannya pada Deva.
Deva minum dengan badan yang masih terbaring. Deva masih belum menyadari akan kehadiran Radit di sisinya.
Roy memerhatikan setiap perlakuan-perlakuan yang sangat lembut Radit berikan pada Deva. Mungkin inilah satu alasan Deva begitu mencintai Radit. Roy malu jika harus membandingkan dirinya dengan pria muda itu yang selalu mengisi hari-hari Deva. Bagaimana bisa anak muda itu mengalahkan Roy yang tercatat sebagai ayah kandung Deva. Roy tidak menyangka ini. Roy merasa sudah gagal segagal-gagalnya menjadi seorang ayah.
Deva menelan halus setiap butir air yang memasuki mulutnya. Deva begitu tersentak begitu menyadari siapa yang memberikan minum untuknya, "Radit" ucap Deva yang terdengar sangat halus sekali.
Radit hanya tersenyum manis kepada Deva, dan menaruh kembali gelas itu ke atas meja.
"Kamu sejak kapan di sini dit? siapa yang kasih tau kamu?"
"Sttt udah kamu istirahat aja dulu yang cukup. Biar cepet sembuh. Yang penting kan aku sekarang ada di sini nemenin kamu" Radit melontarkan senyumnya lagi pada Deva.
Dibalasnya senyum itu oleh senyum tipis yang terpahat di wajah pucat Deva, "Makasih dit, tapi aku nggak apa-apa ko" Deva masih saja tersenyum seakan memang tidak terjadi apapun pada dirinya.
"Emm masa si nggak apa-apa? kan aku dari tadi merhatiin kamu, terus kamunya ngerintih-ngerintih sampe kamu nggak sadar ada aku di sini. Ciyee Deva bisa sakit juga" Radit kini malah meledek Deva sekadar memberi semangat untuknya.
Deva malah tertawa melihat ekspresi Radit yang dibuat-buat untuk menghiburnya, "Apa si kamu dit, aku kan juga manusia yang juga bisa sakit"
Radit malah mengarahkan matanya ke atas seperti tengah berfikir atas apa yang baru saja Deva ucapkan, membuat Deva semakin tertawa geli. "Emm masa si manusia? Tapi ko cantik ya? udah gitu kuat lagi, bisa masak bisa kerja, bisa ngurus anak kecil. Bukan manusia kali?" Radit memasang wajah bingungnya yang dibuat-buat.
Deva mengerutkan dahinya mendengar ucapan Radit, "Terus aku apa dong dit?" Tanya Deva agak tertawa.
"Emm super women" Jawab Radit asal, dan langsung mengeluarkan tawanya. Dan hal itu berhasil membuat Deva bingung dengan ucapannya sehingga tak mampu lagi menahan pecah tawanya.
Deva menepuk pelan lengan Radit, "Apaan si dit, ngelawak aja deh"
Radit tersenyum sangat lebar pada Deva, "Hehe kan biar bidadarinya lupa kalo dia lagi sakit" Radit mencubit pelan kedua pipi Deva.
Deva tersipu malu atas perbuatan Radit padanya, bahkan benar kata Radit, kalau Deva pun sampai lupa kalau ia memang sedang sakit. Kehadiran Radit memang selalu membuat tawa dan rasa senang Deva keluar begitu saja, dan melupakan sejenak penat-penat yang menyangkut di otaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
Teen FictionPerpisahan kedua orangtuanya seperti awal kehidupan suram yang akan dialami Deva. Deva hancur dengan keadaan itu, yang ia ingin hanya keutuhan dan kehangatan bersama keluarganya sendiri. Bahkan rasa hancurnya menumbuhkan fikiran untuk mengahkiri hid...