8

35 6 0
                                    

Karena kedua adik Deva yang meminta dibuatkan makanan olehnya, itulah sebabnya pagi-pagi sekali Deva sudah berada di sini, di sebuah pasar tradisional, karena hari ini juga adalah hari liburnya bekerja, jadi sepertinya tidak ada salahnya jika ia menuruti keinginan kedua adiknya.

Dari kejauhan masih bisa Radit lihat seorang gadis tengah menata peletakan barang-barang belanjaannya di sepeda motornya. Radit tau itu, namun tidak salah rasanya jika ia melihatnya lebih dekat. Saat sudah membenarkan apa yang dilihatnya, buru-buru Radit berlari menghampiri gadis itu.

"DEVA" teriak Radit pada Deva yang tengah mengaitkan beberapa plastik berisikan belanjaannya itu di motornya.

Merasa ada yang memanggil, Deva berusaha mencari asal suara itu. Dalam hitungan detik Deva berhasil menemukannya. Dilihatnya Radit tengah berlari kecil sambil tersenyum untuk menghampirinya. Melihat itu, dengan gelagat yang dicepat-cepatkan, Deva menyegerakan dirinya untuk segera pergi. Bukan maksudnya untuk menjauhi Radit, namun Deva hanya tidak ingin bertemunya untuk saat ini.

Radit yang melihat pergerakan Deva yang begitu cepat, dengan langkah cepat Radit berusaha mencegahnya. Radit berhasil, dengan cepat, digenggamnya tangan gadisnya itu agar tidak menjauh darinya, "Dev?"

"Lepas dit, aku mau pulang" Deva berusaha melepaskan genggaman Radit.

"Nggak dev, sebelum kamu jelasin kenapa kamu jauhin aku selama beberapa hari ini"

Deva terdiam, matanya terpejam mengingat beberapa hal yang dirasakan dan dialaminya. Memang semenjak kejadian malam itu di rumah Radit, Deva sengaja tidak memunculkan dirinya dulu kepada Radit sampai beberapa hari. Jika boleh jujur, Deva masih merasa tersakiti, walau mungkin kenyataannya tidak sesuai dengan pikirannya. Bukan hanya itu, beberapa hari belakangan ini Deva sering sekali melihat wanita yang sedang dekat dengan ayahnya, seringkali datang ke rumahnya. Deva sakit, sakit melihat itu. Yang ia harapkan bukanlah perempuan lain, hanya satu,…ibunya. Sebenarnya bukan sepenuhnya karena Radit, bahkan ingin sekali rasanya mencurahkan semuanya pada Radit, namun Deva fikir ia tidak mau terlalu sering menangis dihadapan Radit, ia lebih memilih meluapkan semuanya sendiri dengan caranya.

"Lepas dit" Sekuat tenaga Deva berusaha lagi melepaskan genggaman itu, namun naas Radit malah menggengam kedua tangannya, hingga keduanya saling berhadapan walaupun pandangan Deva tidak ke wajah Radit.

"Dev kamu kenapa si?hmm? ko gini? ada apa dev? apa aku nggak boleh tau?" Radit memasang wajah murungnya.

Deva menghembuskan nafasnya, "Aku sibuk kerja dit, nggak selalunya aku bisa ketemu kamu" Jawab Deva bohong.

"Kamu bohong dev"

"Aku nggak bohong dit" tekan Deva.

"Oke aku terima, tapi kan seenggaknya kamu bisa angkat telfon atau bales pesan aku"

Deva terdiam dan tak mampu menjawab, karena memang benar kalau ia tak pernah membalas pesan ataupun telfon Radit semenjak hari itu, dan sekali lagi, semua itu karna Deva…sengaja.

"Mas Radit di sini, zahra kira kemana? Eh mba Deva ya?"

Deva tersentak dengan apa yang dilihatnya. Tenyata Radit bersamanya datang ke sini. Dapat Deva lihat, gadis itu masih dengan sama, selalu melontarkan senyum manisnya kepada siapa saja yang berhadapan dengannya. Tapi mengapa, harus bertemunya disaat seperti ini, bahkan seperti yang diketahui bahwa ia datang bersama Radit. Deva melirik sekilas ke arah Radit seakan ingin meminta penjelasan, dilihatnya Radit yang hanya diam tanpa kata. Dengan dipaksakan Deva membalas senyumnya, "Eh hai mba Zahra" sapa Deva. Dapat Deva lihat beberapa kantung belanja yang digenggam Zahra, jadi Deva tidak perlu lagi menanyakan kedatangannya ke mari. Namun permasalahannya, kenapa harus dengan Radit?.

BrokenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang