Perasaan memang tidak bisa dibohongi, terasa sesak dan penat masih tetap mengelilingi hari-hari Deva, namun Deva tetap berusaha memudarkan semua sesak di hatinya di hadapan orang lain.
Pagi ini seperti biasa, Deva melakukan rutinitas hariannya. Bekerja disalah-satu restoran di ibukota sebagai seorang pelayan restoran. Seperti biasa, sebelum berangkat bekerja Deva selalu meluangkan waktunya untuk mengantarkan adik-adiknya ke sekolah, dan tak jarang juga Deva selalu membuatkan sarapan pagi untuk kedua adiknya, sebenarnya juga untuk ayahnya namun Deva terlalu gengsi untuk mengatakannya, karena bagaimanapun juga Deva selalu ingat ucapan Radit, seburuk-buruk orang tua tetaplah ia orang tua kita yang melahirkan dan merawat kita sejak lahir, ya, kata-kata itu yang selalu tertera di kepala Deva hingga kini.
Hari ini sepertinya Deva tidak sempat membuatkan sarapan pagi untuk kedua adiknya. Semalaman Deva selalu memikirkan perihal masalah yang ia hadapi kini, hingga membuatnya tidak bisa memejamkan kedua matanya. Deva bangun dan sedikit tersentak melihat jam yang tertata di atas meja samping ranjangnya, sepertinya hari sudah semakin siang, ohh bagaimana pekerjaan Deva? bagaimana adik-adiknya? Dengan terburu-buru Deva bersiap-siap untuk segera pergi bekerja dan tak lupa terutama mengantarkan kedua adiknya. Sedikit tersentak dengan apa yang didapatinya pagi ini. Ayah Deva kini tengah bersarapan bersama kedua adiknya, sungguh pemandangan yang sangat jarang sekali terlihat. biasanya saat kedua adik Deva bangun, Ayahnya sudah lebih dulu berangkat bekerja, namun kali ini ia dan kedua anaknya duduk di satu meja dengan saling menyantap sepiring nasi goreng yang entah dari mana asalnya. Deva berjalan pelan menuju ruang tamu namun sempat melewati ruang makan, bingung, namun Deva mencoba menutupinya.
"Apa bagus, bekerja dalam keadaan perut kosong?" Ucap ayah Deva secara tiba-tiba saat Deva melewatinya. Deva terdiam sesaat dan mencoba meneruskan langkahnya.
"Mubazir menolak makanan yang udah di depan mata. Apa salahnya ngilangin benci sesaat toh buat kepentingan sendiri" Sambung Ayah Deva lagi.
Kedua adik Deva hanya terdiam, walaupun sebenarnya bingung apa yang dimaksud ayahnya sedari tadi. Deva kembali menghentikan langkahnya untuk berfikir sejenak.
"Apa saya terlalu najis untuk satu meja dengan putra putri saya sendiri?"
Ohh dan kata-kata itu barusan secara tiba-tiba membuat Deva semakin kaku dan bahkan jika tidak ditahannya, butiran air mata sudah mengalir di pipi Deva. Deva bingung, apa kali ini ia harus menyingkirkan sejenak gengsinya atau malah mempertahankan?
"Yaudah kalo gitu biar saya aja yang pin-"
"Nggak usah, biar semua aja di sini" Deva takut, sangat takut sebenarnya membuat ayahnya sedih, tanpa pikir panjang lagi Deva segera bergabung bersama ayah dan kedua adiknya untuk sarapan pagi.
Keempatnya makan dengan santainya. Hening tanpa kata apapun menyertai, hanya benturan sendok dan piring yang mengisi keheningan itu. Bingung, entah apa yang harus dikatakan selurhnya, terutama bagi Deva dan ayahnya. Semua terasa kaku, karena baru kali ini lagi Deva mengalami hal yang menurutnya istimewa ini, walaupun dengan sangat berat Deva harus menyingkirkan sejenak gengsinya kepada ayahnya.
Beberapa saat hening tanpa kata, dan menyadari matahari sudah mulai naik, Rama membuka suara sekadar mengingatkan Deva. Karena sedari tadi yang ia lihat, Deva hanya melamun sambil menghabiskan sepiring nasi gorengnya, Rama hanya tidak ingin Deva dan juga dirinya terlambat pagi ini.
"Kak Deva, ayo ka berangkat nanti telat" Ucap rama sangat polosnya.
Deva sedikit tersentak mendengar suara Rama barusan.
"Ah-eh iya ayo Rama, Aya kita berangkat" Deva sedikit merapihkan penampilannya dan beranjak dari duduknya. Belum sempat melangkahkan kakinya suara itu menahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
Teen FictionPerpisahan kedua orangtuanya seperti awal kehidupan suram yang akan dialami Deva. Deva hancur dengan keadaan itu, yang ia ingin hanya keutuhan dan kehangatan bersama keluarganya sendiri. Bahkan rasa hancurnya menumbuhkan fikiran untuk mengahkiri hid...