Bagian 7

82 6 0
                                    

Aga tidak mempercayai penglihatannya, dia mengucek-ucek kedua matanya lagi. Tapi kenyataan itu benar. Sosok perempuan yang berada di dalam ruangan dan akan memulai untuk mengajar ngaji adalah sosok yang beberapa hari ini dia hindari. Perempuan cantik berhijab dengan tahilalat di hidung yang tidak lain adalah Ratih. Dia segera mengambil tindakan sebelum Pak Anwar mengajaknya masuk.

"Pak, maaf saya permisi sebentar. Ada yang harus saya ambil di mobil." Aga langsung berlari. Dia belum siap untuk bertemu Ratih. Kenapa dia harus bertemu Ratih disini, ini sekedar kebetulan atau memang sudah....takdir?

"Waalaikum salam. Ayah, ada apa?" jawab Ratih ketika Pak Anwar mengucap salam sembari membuka pintu. "Adek-adek, kalian latihan baca dulu ya. Kak Ratih keluar sebentar."

"Iya, Kak..." jawab anak-anak.

Ratih tersenyum sebentar kemudian keluar ruangan. Dengan duduk di bangku kecil di depan ruangan, Ratih melanjutkan obrolannya dengan pak Anwar. "Ada apa, Yah? Bukannya sekarang Ayah ada acara pengajian."

"Iya, sebentar lagi Ayah berangkat. Tapi itu, pemuda yang kemarin ayah ceritain tadi rencananya mau ikut belajar ngaji. Sekarang dia masih ada urusan sebentar."

"Oh..iya Yah. Nanti kalau orangnya sudah kembali, saya akan mengajaknya masuk. Ayah mending berangkat sekarang, sudah lewat beberapa menit soalnya." Pak Anwar langsung berpamitan. Ratih masuk ke ruangan dan melanjutkan mengajar.

Sudah satu jam Ratih mengajar, tapi tanda-tanda orang datang di sekitar ruangan belum juga ada. Sesekali dia menengok keluar, tapi hasilnya nihil. Tidak ada seorangpun di sana. Sampai saat beberapa menit sebelum pelajaran berakhir, bayangan orang itu terlihat dari celah jendela. "Adek-adek, kalau sudah selesai menulis ayat-ayat Al-Qurannya, silahkan kalian kumpulkan di meja depan. Kak Ratih ada urusan sebentar." Ratih segera keluar ruangan. Pemuda itu duduk sendiri di bangku dengan kepala menunduk.

"Permisi..., anda yang..." Sapaan Ratih tiba-tba terhenti ketika melihat pemuda itu menoleh padanya. "P-Pak Anugerah...?" dengan mimik wajah terkejut, Ratih berdiri tegap di sebelah bangku.

"Halo Ratih..." jawab Aga yang kini sudah bisa menguasai perasaannya. Ratih tetap berdiri terdiam. Dia masih belum bisa mempercayai siapa pemuda yang dilihatnya. "Hei..., kenapa bengong? Sini duduk." Aga mengibas-ibaskan tangan kirinya di depan wajah Ratih.

"Eh..i-iya Pak." Ratih berusaha menguasai dirinya, dia terlihat beberapa kali mengambil nafas dan mengeluarkannya. "Jadi, Pak Anugerah yang mau ikut belajar ngaji?" meski terlihat masih grogi, ucapan Ratih mulai lancar.

"Heem,,,,kenapa? aneh ya saya ikut ngaji bareng sama anak-anak kecil?" sahut Aga yang melihat mimik wajah Ratih kurang percaya.

"Ah...enggak-enggak. Justru saya salut sama Bapak. Bapak tidak malu belajar sama anak-anak kecil, jarang menemui orang yang seperti itu. Hanya saja...saya tidak menyangka kalau pemuda yang dimaksud Ayah adalah Pak Anugerah." Sekarang giliran Aga yang terkejut.

"A-yah?" Aga memiringkan kepalanya.

"Iya, Pak Anwar. Beliau sudah saya anggap seperti ayah kandung saya sendiri, karena saya sudah dirawat di panti asuhan ini sejak kecil. Jadi saya memanggilnya Ayah."

Aga benar-benar tidak menyangka. Ternyata Ratih sama dengan dirinya, tidak mempunyai orang tua dari kecil. Bedanya Ratih diasuh sama Pak Anwar dan keluarganya, sedangkan dia cuma ditinggal dengan seorang pembantu.

"Kamu sudah lama mengajar ngaji?"

"Saat masih tinggal disini, saya membantu mengajar tiap hari. Kira-kira...dari SMP. Sejak saya kuliah, saya ingin hidup mandiri. Jadi tidak bisa mengajar lagi karena saya ngekos dekat kampus. Kalau sekarang karena saya kerja sampai sore, saya mengambil waktu libur untuk mengajar gaji. Karena kontrakan saya tidak jauh dari sini." 

Relativitas Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang