Bagian 11

74 6 0
                                    

Matahari pagi di akhir bulan April bersinar dengan cerah. Menghangatkan pepohonan, area persawahan, lapangan, dan juga berbagai ruangan. Salah satunya adalah ruang dengan nomor 14 yang berada di deretan ketiga lantai 2 Rumah Sakit swasta di Surabaya. Dengan jendela menghadap ke arah terbitnya matahari, ruangan itu mendapat sinar matahari secara langsung. Membangunkan pasien yang berada di kamar tersebut.

Ratih akhirnya membuka kedua matanya, setelah sebulan tidak sadarkan diri akhirnya dia terbangun. Meski awalnya dia terkejut tentang kondisi dan tempat dia berada sekarang, dia cukup senang karena akhirnya dia bisa sadar. Hal terakhir yang dia ingat adalah saat itu dia menghindari laju truk yang sangat kencang di depannya pada saat ia melewati jalan satu arah, terus melihat cahaya yang sangat terang sebelum akhirnya dia tak sadarkan diri.

Masih di tempat berbaring, dia menghirup udara segar pagi hari sambil melamaskan otot-otot kedua tangannya. Matanya menyusuri seluruh ruangan, dan terhenti pada sosok yang tidur terduduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya tidak terlihat karena orang itu menunduk dengan memakai jaket dengan tudung yang menutupi kepalanya.

Awalnya Ratih berniat membangunkan orang itu, tapi niatnya terhenti saat dia melihat jaket yang dipakai orang itu seperti jaket miliknya.

'Tidak mungkin, bukannya jaket ini sudah hilang. Makanya Pak Anugerah membelikanku jaket yang baru. Bisa saja ini milik orang lain. Tapi kenapa bisa sangat kebetulan. Apa mungkin...Pak Anugerah bohong. Dan orang yang tertidur ini adalah....Tidaak...tidak mungkin.' ricuh hati Ratih.

"Tidak...itu tidak mungkin." Akhirnya Ratih menyuarakan pikirannya dengan menggelengkan kepalanya.

"Apanya yang tidak mungkin?" jawab orang yang duduk di samping Ratih tapi masih menunduk.

Ratih terkejut karena dia menyuarakan isi hatinya, lebih terkejut lagi karena membuat orang yang duduk di sampingnya terbangun. Tapi dia sedikit lega karena suara orang itu bukan suara orang yang dikiranya.

"Kenapa ga jawab Ra, apanya yang tidak mungkin?"

"Azka..., kamu?" Ratih berseru sambil mengamati jaket yang dipakai Azka.

"Iya, ini aku. Kamu kira siapa, huh..?"

"Ka-kamu kok bisa pakai jaket ini? Setahuku jaket ini kan.... hilang." Ratih masih terkejut.

"Hmm...kamu habis ngapain aja sih selama koma. Beberapa minggu ga sadarin diri, bangung-bangun ngaracau ga jelas. Bentar-bentar..., jangan bilang jaket yang aku kasih, kamu hilangkan?" Azka balik tanya.

"Jaket yang kamu kasih? Aku dapet jaket itu dari ayah kok. Jangan-jangan... kamu yang ambil." Jawab Ratih, meski dia ragu kalau Azka mengambilnya dari Pak Anugerah.

"Duh...Ra. Ternyata ayah belum bilang juga. Sebenarnya jaket itu aku yang beli dengan hasil gaji pertamaku, sengaja aku belinya kembar buat aku dan kamu. Kalau kamu ga percaya, nih lihat. Disini ada sulaman namaku 'AZKA'. Punya kamu juga ada sulaman namanya 'RARA."

Ratih masih bingung dan mencoba memahami penjelasan Azka. "Tapi,,,, tapi kenapa kamu baru bilang sekarang?"

"Lah kamu baru tanya?"

"Aku baru tau..."

"Aku juga baru tau kalau kamu belum tau... Ah...kalau dilanjutin, ntar ga selesai-selesai. Aku mau keluar panggil dokter dulu, mau bilang kalau kamu sudah sadar. Tapi kamu masih hutang cerita soal hilangnya jaket kamu." Azka berlalu tanpa meperdulikan protes Ratih.

Relativitas Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang