Bagian 10

79 7 0
                                    

"Emm..si-silahkan duduk." Ucap Aga, Tamu tersebut langsung duduk.

"Maaf, mungkin kedatangan saya mengejutkan anda. Saya Azka, putra dari Pak Anwar."

Belum hilang keterkejutan Aga, dia terkejut lagi. Tapi setelah dipikir-pikir hal itu tidak akan merubah keadaan kalaupun dia adalah putranya Pak Anwar, karena Ratih bukan anak kandung Pak Anwar.

"Saya memang dekat sekali sama Rara maksud saya Ratih, dari kecil malah. Dan saya sangat menyayanginya."

Azka memang sengaja tidak langsung berbicara tentang maksud dari tujuannya menemui Aga, dia ingin melihat bagaimana ekspresi Aga. Akhirnya dia berhasil, karena mendengar hal itu raut muka Aga berubah bertambah murung.

"Tujuan kamu datang kesini bukan hanya untuk mengatakan hal itu kan?" tersirat jelas ada nada kecemburuan dari kalimat yang keluar dari mulut Aga. Azka tersenyum dalam hati.

"Saya mau meluruskan kesalapahaman Bapak pada Ratih. Saya tidak mau Ratih dianggap sebagai perempuan yang tidak bisa menerapkan apa yang sudah diajarkannya. Saya tahu sedikit tentang Bapak, Ratih sudah menceritakannya kepada saya. Bapak seorang muallaf, yang mempunyai rasa ingin tahu tentang Islam lebih daripada saya yang sudah Islam sejak lahir.  Saya percaya Bapak sungguh-sugguh mempelajari Islam termasuk dalam masalah 'muhrim'. Bukannya saya meragukan pengetahuan Bapak, tapi manusia tidak pernah lepas dengan salah dan lupa. Bapak kemungkinan lupa akan salah satu dari ciri-ciri yang termasuk dari muhrim kita, yaitu saudara sepersusuan."

Kening Aga berkerut samar, dia yakin pernah mendengar kata itu. Tapi dimana? Setelah berhasil mengingat, Aga tau kata itu adalah salah satu dari ciri-ciri muhrim yang belum dia mengerti. Dia ingin segera menanyakannya kepada Pak Anwar, tapi belum ada kesempatan.

"Iya Pak, saya sama Ratih adalah saudara sepersusuan. Ratih dibawa ke panti saat saya berusia satu tahun. Karena waktu itu dia masih bayi yang membutuhkan asi dan kebetulan ibu saya masih memproduksi asi untuk saya, jadi ibu ikut menyusuinya. Sehingga meski kami bukan saudara kandung, kami masih ada hubungan darah karena kami menerima asi dari ibu yang sama. Bapak pasti tau asi berasal dari sari-sari makanan yang mengalir dalam darah seorang ibu."

Penjelasan panjang lebar Azka benar-benar mengejutkan Aga. Azka adalah anak seorang ustadz, pasti apa yang diomongkannya bukan omong kosong belaka. Tapi apa dia harus percaya sama orang yang bahkan belum betul dia kenal. Tapi kalau memang itu kenyataannya?

"Oh.."

Sekarang giliran Azka yang terkejut. 'oh' cuma itu saja tanggapannya? Tapi Aga memang tidak bisa menjawab dengan kata-kata lain. Menurutnya semua sudah terlambat, sudah tidak ada gunanya lagi. Karena dia akan segera bertunangan dengan Tanti.

"Saya sudah tidak mempermasalahkan hal itu, saya sadari tindakan saya waktu itu sangat kekanak-kanakan. Lagian, sebenarnya tidak ada alasan buat saya untuk marah waktu itu. Seperti yang anda bilang, manusia tidak pernah lepas dengan salah dan lupa. Termasuk guru ngaji juga kan?"

Aga mengutuk dirinya sendiri kenapa berbicara tidak sesuai dengan kata hatinya. Tapi harus dia lakukan agar harga dirinya tidak jatuh di depan orang yang mengaku sangat menyayangi Ratih ini.

"Jadi, hal ini hal penting yang mau anda bicarakan dengan saya?"

Azka semakin geram, dia sungguh tidak menyangka bos yang disukai Ratih yang duduk di depannya ini sangat pengecut, berbicara berlawanan dengan raut muka yang sudah terihat jelas di depan matanya. "Iya, tapi sepertinya itu bukan hal penting bagi anda. Maaf sudah mengganggu waktu anda."

Azka berdiri dan beranjak pergi, tiba-tiba langkahnya terhenti.

"Tapi...saya tidak mau kedatangan saya kesini sia-sia."

Relativitas Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang