Bagian 15

81 4 0
                                    

"Ratih, ada banyak hal yang pengen aku omongin, bisa kita bicara sebentar?"

Lama Ratih tidak menjawab, tapi akhirnya kepalanya mengangguk pelan.

Aga sungguh tidak menyangka saat-saat seperti ini akhirnya terjadi juga. Meski tidak sesuai prediksinya, tapi dia tetap senang akhirnya bisa bertemu dan berbicara lagi dengan orang yang sangat dirindukannya. Sebenarnya sudah ada banyak cerita yang sudah Aga siapkan untuk disampaikan kepada Ratih. Tetapi ketika sudah berhadapan langsung dengan orangnya, kalimat-kalimat itu seakan menghilang tanpa permisi.

"Pak, bapak tidak apa-apa?" tanya Ratih akhirnya.

Sebenarnya bukan hanya Aga terlarut dalam lamunannya, Ratih pun demikian. Dia masih tidak percaya, pemilik delapan huruf yang menyusun sebuah nama panggilan yang sudah dua tahunan ini memenuhi pikirannya, sekarang benar-benar nyata berada di hadapannya. Tetapi berbeda dengan Aga, Ratih tidak memprediksi hal ini bakalan bisa terjadi.

Setelah sebuah surat yang ditinggalkan untuknya ketika di rumah sakit waktu itu,  Ratih sudah memutuskan untuk menyerah akan rasa cintanya. Dia akan berusaha bahagia untuk kebahagiaan orang yang sangat ddisayanginya meski hatinya harus terluka. Dengan dipertemukan lagi seperti ini, apakah Ratih masih punya kesempatan untuk membalas pernyataan yang tertulis di dalam surat? Apakah dia malah sudah terlambat? Atau bukan kedua-duanya?

"Ratih? "

"Eh,  iya pak. Maaf."

Setelah dirasa Ratih sudah memperhatikannya, Aga akhirnya mulai bercerita. Aga menceritakan semuanya bahwa sebenarnya jaket itu tidak pernah hilang. Dia sengaja berbohong, agar bisa memiliki jaket itu sebagai kenang-kenangan. Ratih tidak tau harus merasa senang atau sedih. Dia masih berusaha memperhatikan lawan bicaranya sekarang, bertemu lagi dengan orang yang berusaha dia lupakan di panti asuhan ini tidak pernah ada dalam angan-angannya. Sekarang ditambah dengan kenyataan tentang jaket miliknya yang dia kira sudah lama hilang, ternyata disimpan oleh orang yang benar-benar ingin dia lupakan.

"Kenapa bapak shubuh-shubuh sudah ada disini?" tanya Ratih mengalihkan pembicaraan.

"Aku sudah datang kesini dari kemarin." jawab Aga.

Pikiran Ratih langsung berkelana lagi. Kalau memang Aga sudah berada di panti dari kemarin, berarti bisa saja Ratih bertemu dengannya kemarin. Jangan-jangan, detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang kemarin bukan karena akan bertemu dengan Ershand, tapi Anugerah.

"Sebenarnya bisa saja aku pulang kemarin, tapi tenagaku masih dibutuhkan disini."

Kening Ratih berkerut lagi.

"Gini Ratih, sejak kamu memutuskan untuk pindah, em...maksudku saat kamu diterima kerja di tempat kamu sekarang, aku memutuskan untuk menggantikanmu mengajar anak-anak disini. Awalnya aku merasa ragu akan kemampuanku, tapi dengan dukungan Pak Anwar dan semangat anak-anak, akhirnya aku bisa bertahan sampai sekarang."

Ratih benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.

"Kamu mungkin ga percaya, tapi kamu bisa tanyakan ke anak-anak panti. Aku biasanya kesini setiap pulang kerja atau saat setelah lembur."

Anugerah yang sekarang ditemui Ratih sungguh berbeda dengan bosnya yang dia kenal dau tahun yang lalu. Sikap dan cara bicaranya menunjukkan kalau orang yang berusaha ingin dia lupakan selama dua tahun ini semakin terlihat dewasa. Wajahnya tetap tampan, meski sekarang ditumbuhi kumis dan jamban di dagunya.

"Ratih,,, Ra,,,?" tanya Aga.

Ratih langusung menggelengkan kepalanya berharap pikiran ngelanturnya segera menghilang. "Lalu...keluarga Bapak ga keberatan?" tanya Ratih asal.

Relativitas Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang